Lihat ke Halaman Asli

Pak Kusnanto dan Jalan Panjang Khidmah di Nahdlatul Ulama

Diperbarui: 2 Agustus 2025   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pak Kusnanto, khadim ulama NU, mengabdi setia lebih dari dua dekade. (Foto: TVNU/YouTube.)

Bagi sebagian orang, menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama (NU) bukan sekadar pilihan organisasi. Ini soal panggilan jiwa. Ada yang mengekspresikan cintanya pada NU lewat mimbar, lantang menyuarakan perjuangan. Ada pula yang mewakafkan harta, membangun pesantren, atau mendanai kegiatan dakwah. Tapi ada satu jalan yang jarang disorot: jalan sunyi pengabdian, bekerja di balik layar tanpa tepuk tangan.

Itulah jalan yang dipilih Kusnanto, atau akrab disapa Pak Kus. Lahir di Grobogan, 10 Januari 1979, beliau sudah 24 tahun setia menjadi pelayan para ulama NU. Namanya mungkin tidak tercatat di buku sejarah resmi, tak pernah muncul di layar televisi. Tapi, langkah-langkahnya ikut menjaga bara perjuangan NU agar tak padam.

Sejak muda, Pak Kus bercita-cita mondok di pesantren. Tapi, seperti kata pepatah, tak semua mimpi berjalan sesuai rencana. Keadaan keluarga dan kondisi lain membuatnya harus mengubah arah. Tahun 2001, ia justru melangkah ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Saat itu, NU bagi Pak Kus hanyalah nama besar yang ia dengar dari cerita orang, belum ia pahami betul. Yang ia tahu: di sana ia dibutuhkan, dan ia siap mengabdi.

Pekerjaan awalnya sederhana, bahkan terkesan remeh: membersihkan kantor, menata ruangan, menyiapkan air minum untuk tamu. Tapi dari situlah perjalanan panjangnya dimulai. Tanpa sadar, tugas-tugas itu membawanya bersentuhan langsung dengan para kiai besar, ulama karismatik dari berbagai penjuru negeri. Setiap tegur sapa, setiap nasihat, menjadi guru kehidupan yang membentuk karakternya.

Tidak semua orang bisa bertahan di jalan sunyi pengabdian. Tapi Pak Kus punya modal penting: dukungan keluarga. Orang tuanya, istrinya, anak-anaknya — semuanya mengerti bahwa apa yang ia lakukan bukan sekadar pekerjaan, tapi ibadah. Meskipun hidupnya sederhana secara materi, doa dan semangat keluarga selalu membuatnya merasa cukup.

Bagi Pak Kus, keberkahan bukan diukur dari isi rekening, tapi dari hati yang tenang dan kebutuhan yang terpenuhi. “Kalau hati sudah ridha, hidup terasa lapang,” ujarnya, sebagaimana dalam liputan TVNU.

Melayani dengan Sepenuh Hati

Tugas Pak Kus di PBNU tidak berhenti di kantor. Ia juga kerap diminta mendampingi para kiai ke luar kota, membantu kebutuhan mereka selama perjalanan, memastikan segala sesuatu berjalan lancar. Ia melakukannya bukan sekadar karena kewajiban, tapi karena merasa ini adalah amanah. Baginya, melayani ulama adalah bentuk khidmah yang tak ternilai.

Ia ingat betul, suatu kali harus menemani seorang kiai yang sudah sepuh ke acara di daerah. Sepanjang perjalanan, ia tak hanya menjadi sopir atau pengatur jadwal, tapi juga teman bicara, pendengar setia kisah-kisah perjuangan. Momen seperti itu yang membuatnya merasa pekerjaannya penuh makna.

Pengalaman Spiritual yang Menguatkan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline