Lihat ke Halaman Asli

Metafora dan Simile dalam Sastra

Diperbarui: 11 Oktober 2025   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber: narabahasa.id)

Bahasa tidak hanya menjadi alat untuk berbicara, tetapi juga sarana menyalurkan rasa dan imajinasi. Dalam karya sastra, penulis sering memanfaatkan gaya bahasa agar tulisannya hidup dan menarik. Dua gaya yang paling sering digunakan adalah metafora dan simile. Sekilas keduanya tampak sama karena sama-sama membandingkan dua hal yang berbeda. Namun, cara penyampaiannya membuat keduanya memiliki kekuatan dan nuansa makna yang berbeda.

Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan sesuatu secara langsung tanpa menggunakan kata pembanding seperti (seperti atau bagai). Metafora mengandaikan satu hal sebagai hal lain agar muncul makna baru yang lebih dalam. Misalnya kalimat "Hidup adalah panggung sandiwara." Kalimat itu bukan berarti hidup benar-benar panggung, melainkan menggambarkan bahwa hidup penuh peran dan adegan. Metafora menuntut pembaca untuk menafsirkan maknanya melalui imajinasi dan kepekaan rasa.

Sebaliknya, simile merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata pembanding secara eksplisit, seperti (seperti, bagai, bagaikan, dan umpama). Simile menjelaskan hubungan kesamaan antara dua hal dengan lebih jelas dan mudah dipahami. Contohnya, "Wajahnya bersinar bagai rembulan malam." Perbandingan ini langsung memberi gambaran indah tanpa perlu menafsir terlalu dalam.

Dalam dunia sastra, keduanya sering digunakan sesuai kebutuh suasana dan efek yang diinginkan. Metafora biasanya hadir dalam puisi atau karya yang bernada simbolik, karena mampu menyampaikan emosi dan makna mendalam. Misalnya, Chairil Anwar menulis "Aku ini binatang jalang" sebagai metafora untuk kebebasan dan keberaniannya melawan arus. Sedangkan simile kerap muncul dalam prosa, cerita pendek, atau puisi yang berfokus pada deskripsi. Kalimat "Matanya bening bagaikan embun pagi" menghadirkan keindahan visual yang lembut dan romantis.

Dari sisi stilistika, metafora lebih padat dan simbolis, sedangkan simile lebih eksplisit dan komunikatif. Penulis yang mahir biasanya memadukan keduanya agar bahasa tulisannya memiliki keseimbangan antara keindahan dan kejelasan makna.

Baik metafora maupun simile memiliki fungsi penting dalam memperkaya gaya bahasa sastra. Metafora memberi kekuatan simbolik dan emosional, sedangkan simile menghadirkan keindahan yang mudah dicerna. Dengan memahami perbedannya, pembaca dapat menikmati karya sastra dengan lebih peka, dan penulis dapat memilih gaya yang sesuai untuk menghidupkan tulisannya. Pada akhirnya, keindahan sastra lahir dari kemampuan bahasa untuk berbicara bukan hanya kepada pikiran, tetapi juga kepada perasaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline