Setiap zaman melahirkan cara berpikir baru tentang bagaimana negara harus mengatur ekonomi. Tetapi di balik perubahan bentuk dan wajah, ada satu benang merah yang menyatukan para arsitek ekonomi Asia dari masa ke masa: keyakinan bahwa negara tidak boleh menjadi penonton. Ia harus hadir, memimpin, dan menyeimbangkan antara kapital dan keadilan.
Tiga sosok; Soemitro Djojohadikusumo, Zhou Enlai, dan kini Purbaya Yudhi Sadewa adalah manifestasi dari gagasan itu dalam konteks dan skala yang berbeda. Soemitro di Indonesia pasca-kemerdekaan, Zhou di Tiongkok pasca-revolusi, dan Purbaya di Indonesia era global-digital yang penuh ketidakpastian.
Baik Soemitro maupun Zhou Enlai memiliki satu kesamaan fundamental: keduanya menolak ekstremisme ekonomi. Mereka tidak percaya bahwa pasar bebas otomatis menyejahterakan rakyat, tetapi juga tidak meyakini bahwa kontrol total negara akan melahirkan kemakmuran. Soemitro menyebut hal itu sebagai ekonomi campuran, sedangkan Zhou menjadikannya sosialisme rasional. Dalam konteks hari ini, Purbaya menerjemahkannya sebagai "ekonomi terkelola" (managed economy with fiscal-monetary coherence).
Langkah awal Purbaya yang mengalirkan Rp 200 triliun dana pemerintah ke bank-bank Himbara adalah wujud nyata dari filosofi itu. Ia menolak membiarkan uang negara tidur di Bank Indonesia, seperti yang dikritik Soemitro pada masa Orde Lama terhadap "inaktivitas fiskal." Tetapi di sisi lain, ia tidak menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Ia mengarahkan penempatan dana itu ke bank milik negara, artinya tetap di bawah kontrol politik fiskal. Di sini terlihat pengaruh kuat dari paradigma Soemitro dan Zhou: negara boleh menggunakan tangan pasar, tapi tidak boleh kehilangan kendali atas arahnya.
Soemitro dan Zhou sama-sama menganggap bahwa pembangunan ekonomi adalah proyek politik jangka panjang. Soemitro membangun konsep perencanaan indikatif dan REPELITA sebagai instrumen untuk menata arah investasi. Zhou melahirkan Five Years Plan di Tiongkok sebagai cara mengorganisasi tenaga nasional untuk modernisasi industri. Kini, Purbaya tidak lagi hidup di era industri berat, tetapi di era ekonomi finansial dan data. Maka bentuk "perencanaan" yang ia gunakan bukan lagi tabel produksi baja atau pupuk, melainkan arus uang, likuiditas, dan koordinasi fiskal-moneter.
Ia menggeser paradigma Kemenkeu dari "penjaga defisit" menjadi "penggerak ekonomi," persis seperti Zhou yang dulu mengubah peran Bendahara Negara Tiongkok dari sekadar collector menjadi mobilizer of national energy. Purbaya tampak meneruskan semangat developmentalism pragmatis itu, bahwa anggaran negara tidak boleh statis, melainkan harus beredar secara produktif di sektor riil. Ia mempraktikkan financial industrial policy, bukan sekadar kebijakan fiskal konservatif.
Di tengah dunia yang terbelah antara neoliberalisme dan populisme fiskal, Purbaya berdiri di jalur tengah yang unik---mirip posisi Soemitro dan Zhou dalam zamannya. Soemitro menolak liberalisasi ekstrem; Zhou menolak dogma komunisme total. Purbaya kini menolak dikurung dalam konservatisme fiskal "defisit rendah-utang kecil," tapi juga tidak mengumbar populisme fiskal tanpa perhitungan. Secara ideologis, ia meneruskan nasionalisme ekonomi Soemitro, berpadu dengan pragmatisme Zhou Enlai.
Ketika ia menyatakan bahwa pertumbuhan 6--7% "bukan mustahil bila mesin fiskal dan moneter bergerak bersama," itu bukan sekadar janji politik. Itu refleksi dari keyakinan yang sama: bahwa pembangunan ekonomi adalah urusan negara, bukan hanya pasar. Namun Purbaya melangkah lebih jauh: ia membawa ide itu ke dalam arsitektur kebijakan makro modern, memanfaatkan BI, OJK, dan LPS sebagai policy triad, persis seperti Zhou membangun koordinasi antar kementerian dalam State Council untuk mengawal modernisasi Tiongkok.
Ada satu hal yang membuat ketiganya sejajar secara moral intelektual: pragmatisme yang beretika. Soemitro tidak pernah menolak modal asing, tetapi ia ingin modal itu bekerja untuk bangsa. Zhou tidak menolak kerja sama dengan Barat, tetapi ia menempatkannya dalam kerangka martabat Tiongkok. Purbaya pun melakukan hal serupa; membuka aliran likuiditas, menjalin kerja sama internasional, tetapi dengan pesan eksplisit bahwa "uang rakyat harus kembali ke rakyat."
Kebijakan menolak kenaikan cukai rokok 2026, menjaga transfer ke daerah, dan mendorong kredit produktif menunjukkan sensitivitas ala Zhou: keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan stabilitas sosial. Sementara langkah menyalurkan dana pemerintah ke bank nasional adalah naluri Soemitro: kontrol negara atas instrumen strategis tanpa membunuh dinamika pasar.
Secara teoretis, Soemitro dan Zhou bisa dikategorikan sebagai pelopor developmental state, negara yang memimpin pembangunan ekonomi lewat perencanaan dan kontrol terbatas atas pasar. Purbaya kini mencoba mengadaptasi itu ke era digital dan keuangan terbuka. Ia bisa disebut sebagai arsitek neo-pragmatism ekonomi Indonesia: memadukan kebijakan fiskal aktif, koordinasi moneter, dan nasionalisme ekonomi berbasis data. Ia tidak sekadar menjalankan APBN; ia menggunakannya sebagai policy engine untuk menghidupkan kembali semangat pembangunan.