Ketahanan pangan menjadi isu yang krusial dalam pembangunan berkelanjutan, khususnya di daerah dengan populasi tertinggi seperti Provinsi Banten. Sebagai daerah dengan populasi yang cukup tinggi, Provinsi Banten mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam aspek ketahanan pangan selama kurun waktu delapan tahun terakhir. Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan (FSVA) tahun 2018 menunjukkan bahwa Provinsi Banten termasuk dalam kategori tahan pangan. Tetapi berdasarkan data menunjukkan bahwa masih adanya kesenjangan yang cukup signifikan dalam aspek ketahanan pangan di Provinsi Banten. Hal ini mencerminkan bahwa status "tahan pangan" belum cukup menggambarkan kondisi yang terjadi di lapangan. Dalam artikel ini akan membahas bagaimana ketahanan pangan di Provinsi Banten masih dihadapi dengan tantangan seperti angka stunting yang tinggi, minimnya akses terhadap listrik dan air bersih, serta meningkatnya proporsi pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan pangan. Jika hal ini tidak segera diatasi dengan upaya yang tepat, kondisi ini bisa berdampak panjang terhadap pembangunan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hal akses, beberapa wilayah di Provinsi Banten masih dihadapi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Sementara dari aspek pemanfaatan, stunting menjadi masalah serius yang harus dihadapi oleh masyarakat Banten. Di sisi lain Indeks Ketahanan Pangan (IKP) menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten. Kota Serang sebagai ibu kota Provinsi Banten mempunyai Indeks Ketahanan Pangan (IKP) terendah yaitu 59,16%. Hal ini menyebabkan Kota Serang menjadi daerah yang masuk dalam kategori rawan pangan. Kondisi ini menggambarkan bahwa permasalahan ketahanan pangan tidak hanya terjadi di pedesaan, namun juga di kota-kota besar.
Global Nutrition Report tahun 2016 menunjukkan bahwa prevalensi stunting yang terjadi di Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara yang ada di dunia. Angka ini menggambarkan bahwa permasalahan stunting masih menjadi tantangan yang serius bagi Indonesia dalam upaya meningkatkan kualitas gizi anak-anak. Di samping itu, Indonesia dikategorikan sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban ganda gizi. Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang terjadi antara pola konsumsi makanan serta kurangnya akses terhadap gizi yang baik. Berdasarkan data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 menunjukkan bahwa angka stunting di Provinsi Banten menurun dari semula 24,5% pada tahun 2021 menjadi 20% di tahun 2022. Hal ini selaras dengan upaya Pemerintah Provinsi Banten yang menargetkan penurunan angka stunting menjadi 19,25% pada tahun 2023. Kemudian di tahun 2024 angka stunting di Provinsi Banten kembali mengalami penurunan sebesar 4%.
Penurunan angka stunting juga di dorong oleh upaya serius yang dilakukan seperti distribusi makanan bergizi untuk anak di bawah usia dua tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pemenuhan gizi serta mencegah stunting. Pemprov Banten juga melakukan pendekatan multisektor dan multipihak melalui pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Provinsi Banten. Kemudian upaya lainnya yaitu melakukan Rembuk Stunting 2025, yang merupakan sebuah forum kolaborasi antara pemerintah, aktivis, akademisi, dan masyarakat. Selanjutnya pemutakhiran dan verifikasi data yang dilakukan oleh BKKBN, upaya ini berhasil menurunkan angka stunting hingga menyentuh angka 79,38% dari 1.373.383 keluarga berisiko di tahun 2021 menjadi 283.250 di tahun 2024.
Meskipun capaian ini menunjukkan tren positif, tantangan ketahanan pangan di Banten tidak hanya terbatas pada stunting. Beberapa wilayah yang ada di Banten juga masih dihadapi dengan tantangan sulitnya mendapatkan air bersih dan listrik yang turut berkontribusi pada ketahanan pangan secara keseluruhan. Air bersih sangat dibutuhkan untuk mendorong pola konsumsi pangan yang bersih dan sehat. Selain itu listrik juga mendukung distribusi serta pengolahan pangan. Keberhasilan Provinsi Banten dalam mengatasi kondisi ketahanan pangan tidak terjadi secara cepat, namun terdapat faktor-faktor yang mendorong adanya perubahan ini, seperti: revitalisasi lahan pertanian dan ketahanan pangan lokal. Upaya ini merupakan langkah strategis yakni dengan melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dengan melalui regulasi yang cukup ketat terkait alih fungsi lahan.
Transformasi ketahanan pangan di Provinsi Banten dari provinsi rentan pangan yang terjadi di tahun 2017 hingga menjadi sangat tahan pangan di tahun 2025 merupakan pencapaian besar. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat yakni melalui upaya penurunan angka stunting, penguatan infrastruktur pangan, dan kebijakan harga yang stabil dapat memberikan kemandirian pangan bagi suatu daerah. Tetapi keberlanjutan pangan ini harus terus dijaga dan menjadi prioritas melalui kolaborasi, inovasi, dan kebijakan yang responsif. Dengan mempertahankan upaya ini, Provinsi Banten tidak hanya menjadi contoh nyata keberhasilan ketahanan pangan di Indonesia, namun dapat menjadi model bagi daerah lainnya yang masih berupaya untuk menciptakan kemandirian pangan.
Untuk memperkuat ketahanan pangan yang berkelanjutan, terdapat upaya penting yang harus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Banten agar tidak hanya fokus terhadap intervensi jangka pendek, melainkan membangun sistem pangan yang adaptif dan tangguh terhadap berbagai tantangan yang ada seperti urbanisasi, perubahan iklim, dan krisis ekonomi global. Berdasarkan kajian Food and Agriculture Organization 2021 menekankan akan pentingnya pendekatan sistem pangan yang terintegrasi, di dalamnya menggabungkan beberapa aspek seperti produksi, distribusi, konsumsi, hingga pada tahap pengelolaan limbah pangan. Dalam hal ini, teknologi pertanian yang ramah lingkungan, penguatan lembaga lokal, dan peningkatan literasi gizi oleh masyarakat harus menjadi upaya yang berlangsung dalam jangka panjang. Kemandirian pangan tidak semata-mata ditentukan berdasarkan kemampuan suatu daerah dalam memproduksi pangan secara mandiri, akan tetapi sejauh mana masyarakat mempunyai akses yang konsisten terhadap pangan yang bergizi tanpa adanya ketergantungan berlebihan pada sumber eksternal. Maka dari itu, capaian Provinsi Banten dalam memperkuat ketahanan pangan perlu digunakan sebagai momentum untuk meningkatkan inovasi, membangun sinergi antar sektor, dan memperkuat landasan regulasi sebagai upaya strategis untuk menciptakan keberlanjutan pangan di masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Badan Ketahanan Pangan. (2018). Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA). Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Budiawati, Y., & Natawidjaja, R. S. (2020). Situasi Dan Gambaran Ketahanan Pangan di Provinsi Banten Berdasarkan Peta Fsva Dan Indikator Ketahanan Pangan. Jurnal Agribisnis Terpadu, 13(2), 187. https://doi.org/10.33512/jat.v13i2.9866