"Perlindungan kesehatan publik" tidaklah netral, melainkan sarat dengan agenda tersembunyi. Narasi kesehatan hingga intervensi global memainkan peran dalam menciptakan standar ganda antara kopi sachet dan rokok.
Dua Sahabat Rakyat Kecil
Di sudut-sudut warung kelontong, kios pinggir jalan, hingga etalase minimarket, dua barang kecil selalu tersedia berdampingan: kopi sachet dan rokok. Keduanya seolah menjadi "sahabat setia" rakyat kecil dalam menjalani hari.
Saat kantong menipis, kopi sachet jadi penyelamat semangat kerja, sementara sebatang rokok jadi teman melepas penat. Hubungan ini begitu melekat, sampai-sampai tidak sedikit orang menyebut keduanya sebagai simbol keseharian kelas pekerja.
Namun, di balik keakraban itu, terdapat perbedaan mencolok dalam cara negara memperlakukan keduanya.
Kopi sachet seakan dimanjakan: ia bebas beriklan di televisi, diidolakan sebagai gaya hidup modern, dan nyaris tanpa regulasi ketat. Rokok, sebaliknya, dihujani stigma, ditekan dengan regulasi, dan diperlakukan layaknya biang kerok segala penyakit.
Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa dua produk yang sama-sama berisiko justru diperlakukan dengan standar berbeda?
Jawaban sederhana tidak cukup untuk menjelaskan fenomena ini. Tidak cukup sekadar berkata "rokok lebih berbahaya" atau "kopi hanya minuman biasa."
Faktanya, kopi sachet membawa bahaya kesehatan serius, terutama karena kandungan gula berlebih yang berkontribusi pada epidemi diabetes dan obesitas. Tapi, narasi publik tidak pernah menyoroti hal itu seintens wacana antirokok.
Kopi Sachet: Bahaya Manis dan Kimia yang Ditolerir