Lihat ke Halaman Asli

Choirul Anam

TERVERIFIKASI

Penulis tinggal di Bojonegoro

Ekoteologi dalam Tempat Sampah

Diperbarui: 1 Oktober 2025   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekoteologi dalam Tempat Sampah 


Pernahkah Anda jalan pagi sambil menghirup udara segar, lalu tiba-tiba aroma "ajaib" dari tumpukan sampah mengusik hidung? Seakan-akan bumi sedang memberi teguran: "Hei, kalian ini makhluk paling cerdas atau paling ceroboh, sih?" Fenomena ini bukan hanya masalah tata kota atau teknis kebersihan, tapi juga bisa dibaca dari kacamata yang lebih dalam: ekoteologi.

Ekoteologi, secara sederhana, adalah refleksi teologis tentang relasi manusia dengan alam. Dalam banyak tradisi agama, bumi bukan sekadar tempat tinggal, melainkan titipan yang harus dijaga. Al-Qur'an misalnya, menyebut manusia sebagai khalifah fil-ardh (pemimpin di bumi) yang punya tanggung jawab moral menjaga ciptaan Tuhan.

Artinya, krisis lingkungan bukan sekadar soal teknis, melainkan juga krisis spiritual. Sampah yang menumpuk dan menggunung bisa dibaca sebagai tanda bahwa relasi kita dengan alam sedang tidak sehat. Kita sering merasa bumi ini milik kita sepenuhnya, padahal sejatinya kita hanyalah tamu.

Mari bicara jujur. Berapa kali kita dengan enteng membuang plastik kopi saset di jalan? Atau merasa biasa saja membakar sampah di belakang rumah? Padahal, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (2022) mencatat Indonesia menghasilkan sekitar 68,5 juta ton sampah per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 18,5% masih belum terkelola. Dan, 32% sampah plastik berakhir di laut, menjadi ancaman bagi biota.

Sampah bukan hanya soal kotoran yang bau, melainkan juga soal etika. Ia merefleksikan bagaimana kita memperlakukan bumi: dengan hormat atau dengan abai. Jika dalam teologi kita percaya bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, maka membuang sampah sembarangan sama artinya dengan merusak karya seni agung Sang Pencipta.

Dalam kerangka ekoteologi, pengelolaan sampah bisa dipahami sebagai bagian dari ibadah ekologis. Misalnya: 1. Reduce, Reuse, Recycle (3R) bukan hanya jargon, tapi juga bentuk pengamalan tanggung jawab moral. Mengurangi sampah plastik sama artinya dengan mengurangi dosa ekologis kita. 2. Bank sampah di banyak desa bukan hanya program ekonomi sirkular, tetapi juga latihan spiritual untuk hidup hemat, tertib, dan peduli. 3. Kompos dari sampah organik bisa kita lihat sebagai wujud syukur: sampah sisa dapur pun masih punya nilai, bisa menyuburkan tanah.

Dalam literatur ekoteologi, seperti yang ditulis Sallie McFague dalam A New Climate for Theology (2008), ada gagasan bahwa bumi adalah tubuh Tuhan (the world as God's body). Jadi, ketika kita mencemari lingkungan, itu sama saja dengan menyakiti tubuh Ilahi. Perspektif ini memberi kesadaran emosional yang kuat: jangan remehkan puntung rokok atau kantong plastik yang kita buang sembarangan, karena dampaknya bisa panjang.

Pertanyaannya, bagaimana ekoteologi bisa diturunkan ke level tindakan sehari-hari, terutama dalam urusan sampah di lingkungan sekitar kita?

Pertama, edukasi berbasis iman dan budaya lokal. Bayangkan jika khutbah Jumat atau ceramah pengajian tidak hanya bicara soal ibadah ritual, tetapi juga ibadah ekologis: menjaga sungai, memilah sampah, menanam pohon. Dalam tradisi Jawa, ada pepatah memayu hayuning bawana---menjaga harmoni alam semesta. Bukankah ini sejatinya ekoteologi dalam bahasa lokal?

Kedua, membangun ekosistem pengelolaan sampah berbasis komunitas. Pengalaman di Surabaya misalnya, ada kebijakan menukar sampah plastik dengan tiket bus Suroboyo. Kreatif dan sekaligus mendidik masyarakat. Atau di beberapa desa, ada gerakan sedekah sampah, di mana sampah dipilah dan hasilnya dipakai untuk kegiatan sosial. Ini bukti bahwa pengelolaan sampah bisa dipadukan dengan nilai religius dan sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline