Dunia hari ini tampak lebih mudah terbakar daripada menerangi.
Satu cuitan di media sosial bisa memicu ribuan komentar penuh amarah.
Satu video berdurasi tiga puluh detik bisa menyalakan bara kebencian yang meluas ke ruang publik dan politik. Seakan-akan kita hidup dalam zaman yang gampang tersinggung, tapi sulit tersentuh.
Dalam seminggu terakhir saja, kita melihat bagaimana amarah kolektif meledak di berbagai lini: dari protes jalanan yang berujung bentrok, komentar warganet yang saling mencaci, sampai perdebatan tentang isu politik atau agama yang tak berujung damai. Semua seolah berlomba menjadi paling benar, padahal yang terbakar sering justru batin manusia itu sendiri.
Padahal, kalau kita lihat lebih dalam, amarah bukanlah hal baru. Ia adalah api purba yang sudah menyala sejak manusia pertama merasa tersakiti atau diabaikan. Yang berubah hanyalah wadahnya --- jika dulu amarah keluar lewat perang atau pedang, kini ia menyala melalui jempol dan layar ponsel. Platform digital membuat emosi manusia lebih cepat viral daripada virus itu sendiri.
Namun, menariknya, sebagian dari amarah itu tidak selalu lahir dari kebencian. Banyak di antaranya justru muncul dari rasa cinta yang belum menemukan bentuknya --- cinta pada keadilan, pada nilai yang diyakini benar, pada bangsa, bahkan pada Tuhan. Di titik ini, amarah bukan sekadar ledakan emosi, tapi jeritan nurani yang mencari arah.
Masalahnya, ketika amarah tidak dikelola, ia menjelma menjadi api yang membakar kesadaran.
Ia menutup ruang dialog, mematikan empati, dan melahirkan generasi yang lebih reaktif daripada reflektif. Dari rumah tangga hingga ruang politik, dari pertemanan hingga wacana publik --- amarah tanpa kesadaran membuat manusia kehilangan kemampuan untuk melihat dari hati.
Maka, pertanyaannya bukan lagi "apakah marah itu salah?", melainkan "bagaimana kita menyadari, mengarahkan, dan mentransformasikan amarah itu sendiri?"
Karena sesungguhnya, sebagaimana para sufi berkata:
"Api yang sama bisa membakar, tapi juga bisa menghangatkan."
Tergantung siapa yang memegangnya --- nafsu, atau kesadaran.
Ketika Api Itu Menyala di Dalam Diri
Dunia hari ini tampak lebih cepat panas daripada sadar. Satu komentar di media sosial bisa berubah menjadi perang kata. Satu video berdurasi tiga puluh detik dapat menyalakan bara kebencian yang menjalar ke mana-mana. Kita hidup di zaman di mana kemarahan menjadi bahasa sehari-hari---dari ruang publik hingga ruang hati.