Fenomena K-pop telah menjadi kekuatan budaya global yang mampu menembus batas negara dan bahasa. Di balik keindahan musik, koreografi sempurna, dan visual yang memesona, terdapat kenyataan keras yang dialami para idola. Mereka bukan hanya dituntut untuk tampil sempurna, tetapi juga harus menjalani hidup di bawah sorotan publik secara terus-menerus. Salah satu contoh terbaru yang menyedot perhatian publik adalah kasus Huang Renjun, anggota grup NCT Dream dari SM Entertainment.
Pada tahun 2024, Renjun memutuskan untuk mengambil hiatus karena mengalami gangguan kecemasan dan tekanan mental. Namun, di tengah masa pemulihannya, Renjun masih terus dikejar oleh sasaeng atau penggemar obsesif yang melanggar privasi idola dengan cara ekstrem. Dalam kondisi mental yang tidak stabil, Renjun akhirnya membagikan akun media sosial dan nomor telepon seseorang yang diduga sasaeng melalui platform Bubble, dengan harapan penggemarnya bisa melindungi dirinya. Sayangnya, nomor tersebut ternyata bukan milik sasaeng yang dimaksud, melainkan orang biasa. Aksi ini menimbulkan kehebohan dan perdebatan etis, apakah Renjun salah, ataukah ia hanya korban sistem yang tidak mampu melindunginya?
Kasus ini mencerminkan isu sosial yang lebih luas, tidak hanya menyangkut hubungan antara selebritas dan fans, tetapi juga tentang privasi, identitas, batas antara publik dan personal, serta bagaimana masyarakat memperlakukan manusia sebagai produk budaya. Untuk memahami dinamika ini, analisis dengan pendekatan sosiologi sangat diperlukan.
Fenomena Renjun dan sasaeng fans dapat dianalisis sebagai produk dari konstruksi sosial dalam industri hiburan modern. Dalam dunia di mana citra menjadi komoditas, para idola seperti Renjun kerap diposisikan bukan sebagai individu, melainkan sebagai objek konsumsi budaya. Mereka ditampilkan secara visual, emosional, dan simbolik kepada publik untuk dijual, dikagumi, dan "dimiliki" oleh para penggemar.
Pertama, dari perspektif teori Michel Foucault tentang panopticon, masyarakat modern membentuk sistem pengawasan terselubung yang mengontrol individu melalui tatapan publik. Renjun, seperti banyak idola lainnya, hidup di bawah pengawasan yang konstan. Tatapan kamera, media sosial, bahkan pesan dari penggemar di platform pribadi seperti Bubble menjadi bagian dari kontrol sosial. Mereka diawasi bukan oleh satu lembaga tertentu, tetapi oleh jutaan mata publik yang terus menilai, memuji, atau mengkritik setiap tindakannya. Hal ini menciptakan tekanan luar biasa yang berpotensi menghancurkan kestabilan psikologis.
Kedua, dalam kerangka Marxian, dapat dikatakan bahwa Renjun mengalami proses komodifikasi atau pemanfaatan manusia sebagai komoditas. Tubuh, suara, bahkan kehidupan pribadinya dijual sebagai bagian dari "paket" idola. Fans tidak hanya membeli album dan tiket konser, tapi juga merasa berhak atas akses emosional dan privat dari sang idola. Dalam kondisi ini, muncul ketimpangan antara kebutuhan manusiawi Renjun untuk memiliki ruang pribadi dan tekanan dari sistem kapitalistik yang memaksanya tetap "hadir" bagi publik.
Fenomena sasaeng sendiri merupakan bentuk ekstrem dari hubungan parasosial, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Horton dan Wohl. Hubungan parasosial adalah hubungan satu arah di mana penggemar merasa memiliki ikatan personal dengan selebritas yang sebenarnya tidak mengenal mereka secara pribadi. Dengan kehadiran media sosial yang interaktif seperti Bubble atau Instagram, ilusi kedekatan ini semakin kuat. Ketika Renjun membalas pesan atau menulis secara personal, banyak penggemar merasa seolah-olah mereka sedang membangun hubungan nyata. Dalam kondisi ini, sebagian orang melampaui batas dan merasa punya hak untuk mengontrol atau "mengawasi" sang idola dalam kehidupan nyata sebuah bentuk pengingkaran terhadap otonomi individu.
Namun, apa yang terjadi ketika seorang idola mencoba membela dirinya sendiri, seperti yang dilakukan Renjun? Tindakan Renjun yang membagikan informasi dugaan sasaeng menjadi bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan struktural. Ia, sebagai korban, berusaha menggunakan platform yang tersedia untuk mencari perlindungan. Yang menarik adalah bagaimana para penggemar meresponsnya. Banyak yang secara kolektif ikut melaporkan akun tersebut, menciptakan bentuk baru dari community policing atau "penegakan hukum" oleh komunitas online. Ini menunjukkan bagaimana komunitas digital dapat bergerak dengan cepat dan solid, namun tanpa prosedur yang jelas, tindakan ini justru menimbulkan kesalahan fatal yakni menyerang orang yang tidak bersalah.
Dari sini kita bisa melihat kompleksitas moral dalam hubungan antara selebritas dan fans. Solidaritas yang seharusnya membela korban bisa berubah menjadi kekerasan digital yang diarahkan pada pihak yang salah. Kejadian ini memperlihatkan bahwa hubungan sosial di era digital tidak sesederhana yang terlihat. Ada kebutuhan mendesak untuk membentuk etika digital kolektif yang menghargai hak individu tanpa mengorbankan solidaritas sosial.
Akhirnya, tekanan psikologis yang dialami Renjun menyoroti sisi lain dari industri K-pop yang jarang dibicarakan secara serius yaitu, kesehatan mental idola. Banyak artis yang memaksakan diri tampil sempurna di tengah kondisi batin yang kacau. Sistem kerja yang padat, ekspektasi publik yang tinggi, serta kurangnya perlindungan dari agensi menjadi beban tersendiri yang dapat berdampak serius pada kesejahteraan mereka. Ini bukan hanya masalah personal, melainkan masalah struktural yang menunjukkan bagaimana sistem industri belum sepenuhnya memanusiakan para artisnya.