Lia adalah Anak Sulung dari Empat Bersaudara dari Keluarga yang sederhana. Saat dirinya sudah bisa disebut sebagai kakak, ia sudah dibisikan kalimat yang terus menempel ditelinganya: “Kamu kan kakak, harus mengalah.”, “Kamu kan kakak, harus sabar.”,“Kamu kan kakak, harus jaga adikmu .”dan hal lainnya. Dan kini dunia Lia seolah hanya berputar di sekitar kata tanggung jawab.
Pada Waktu itu Lia ingin memakai celana yang ia beli sendiri dengan uang tabungannya namun adiknya yang ke tiga mengatakan akan memakai celana itu“Kak, itu akan aku pakai!”Ibunya menoleh sambil berkata tegas, “Kamu kan kakak, kasih untuk adikmu dulu.” Lia hanya bisa diam menunduk dan menyerahkan celana yang ia beli dengan uang tabungannya itu. Hatinya Perih perihal celana yang ia beli menggunakan uangnya sendiri tidak dapat dia gunakan karena harus mengalah kepada adiknya.
Di Sekolah pun Lia sering merasa iri kepada teman-temannya,yang bercerita bagaimana dia mempunyai kakak bahkan abang yang baik padanya yang menyayanginya,bahkan Lia juga iri kepada teman-teman yang menceritakan betapa adilnya orang tua mereka terhadap mereka bersaudara. Sedangkan Lia tidak merasakan hal itu.
Malam hari, ketika semua orang sibuk dengan adik-adiknya, Lia duduk sendiri di pojok kamar. Adiknya yang kedua dan ke empat bermain dengan ibunya, adiknya yang ketiga sedang mengerjakan tugas bersama ayah. Rani menatap pemandangan itu dengan mata panas. “Kenapa tidak ada yang melihat aku? Kenapa aku harus selalu mengalah? Aku juga ingin jadi adik…” bisiknya dalam hati.
Sampai suatu malam, emosi Lia meledak. Adik keduanya berkata kasar kepadanya karena Lia tidak ingin menuruti kehendaknya, Lia marah, “Kenapa sih kamu seenaknya?!” Namun ibunya masuk dan langsung memarahi Lia, “Jangan kasar sama adikmu! Kamu kan kakak, harus sabar.”
Kali ini Lia tak tahan. “Kenapa selalu aku yang salah?!” teriaknya sambil menahan tangis. “Aku juga masih kecil, Bu! Aku juga ingin dimanja, aku juga ingin dipeluk! Aku capek jadi kakak yang selalu harus kuat,yang selalu menahan semuanya sendiri.!”
Ruangan mendadak hening. Adik-adiknya menatap, ayahnya terdiam, ibunya membeku. Air mata Lia pecah deras. Ia berlari ke kamar, menutup pintu, menangis tersedu-sedu di balik selimut.
Beberapa saat kemudian, pintu diketuk pelan. Ibunya masuk, duduk di samping Lia, lalu memeluknya erat. “Maafkan Ibu, Nak…” suaranya bergetar. “Ibu terlalu sibuk dengan adik-adikmu sampai lupa kalau kamu juga anak kecil. Kamu juga berhak dimanja. Kamu boleh menangis, kamu boleh marah. Kamu boleh jadi adik… setidaknya di pelukan Ibu.”
Lia menenggelamkan wajahnya di bahu ibunya, menangis semakin kencang. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak hanya dilihat sebagai “kakak” yang harus kuat, tapi juga sebagai seorang anak yang berhak dicintai.
Malam itu, meski ia tetap anak sulung dengan tiga adik yang harus ia jaga, Lia belajar satu hal penting: menjadi kakak tidak berarti harus selalu mengalah. Karena dalam hati orang tuanya, ia tetap anak kecil yang pantas dipeluk, dimengerti, dan dicintai—seperti seorang adik yang selama ini ia impikan.