Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | "Grandpa"

Diperbarui: 14 Mei 2018   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Secangkir coklat panas baru saja terhidang untukku. Sembari mengucap terima kasih kepada seorang barista berambut pirang yang katanya mengenaliku sejak pertama kali mampir ke kedai ini. Sesekali ia berlagak sok pintar menghafal kebiasaanku.

"Mbak ini kalau datang jam setengah delapan tepat, selalu duduk di pojok sini, lalu pesan secangkir coklat panas nggak pakai gula, dan sepotong croissant isi keju. Mbak pasti akan beranjak dari kedai ini jam sebelas, yaaa kalau terlihat sibuk kerja paling lambat jam sebelas lebih lima belas menit. Hehhehe....baiklah, selamat menikmati" selorohnya lalu pergi.

Menjadi seorang karyawan dengan remote working memang memudahkanku untuk bisa mengendalikan pekerjaan dari manapun, tidak perlu datang ke kantor setiap hari. Termasuk dengan mengunjungi kedai ini, seminggu tiga kali aku kesini untuk sekedar mengusir penat dan memanfaatkan layanan wifi gratis. Dan aku menyukai nuansa etniknya, interiornya, para pelayannya, musiknya, croissant nya dan coklat panasnya.  

Kuputar sendok teh di dalam cangkir yang masih panas itu beberapa kali, sambil menatap ke depan, menembus kaca pembatas kedai, menerjang guyuran hujan pertama yang mulai turun di awal tahun ini. Lalu lalang manusia melintasi trotoar depan kedai dengan setengah berlari karena tak ingin basah kuyup.

Tak kecuali dengan dua wanita setengah baya berbaju pegawai negeri yang kemudian memutuskan berteduh sejenak disamping kiri kedai, mereka saling bercakap dengan raut muka kecut, terdengar gumaman yang tak jelas, seperti sumpah serapah kepada hujan karena turun sepagi ini. Aroma khas tanah basah menggelitik indra penciuman. Kulirik arloji ditanganku, jarum pendek mengarah angka delapan, dan aku belum bergairah untuk membuka laptop, untuk memulai bekerja.

Sesekali ku nyalakan layar ponsel untuk melihat massenger, hanya untuk memastikan apakah kamu sedang online. Sejak pukul tujuh tadi. Kamu online. Tapi tak juga kudengar bunyi ponsel yang menandakan bahwa kamu menyapaku pagi ini. Kuletakkan sendok di atas tatakan, giliran cangkir yang kudekap dengan kedua tangan agar terasa hangat. Aroma cokelat pekat menyeruak memasuki rongga hidungku. Kusesap sedikit demi sedikit. Sangat ampuh membuatku tenang untuk sesaat. Sejurus kemudian ponsel ku berbunyi. Cling!!!

Kamu.

Setengah berjingkat kulihat namamu tertera di layar ponsel.

Hai, kamu sedang apa?

Biasa mulai bekerja, kamu sedang apa?

Entahlah aku tidak bisa tidur malam ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline