Lihat ke Halaman Asli

Harmoni di Pura Lingsar

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_116842" align="aligncenter" width="640" caption="http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/06/16/harmoni-di-pura-lingsar/"][/caption] Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Jangan begini, jangan begitu. Larangan tersebut  sering kita jumpai di sebuah masyarakat atau komunitas tertentu di Indonesia. Setiap kelompok mempunyai tradisi atau kepercayaan masing-masing, termasuk pantangan yang selalu diikuti oleh warganya, bahkan tamu atau pengunjung pun dimohon untuk mematuhinya. Selalu ada sejarah, legenda, babad, atau bahkan semacam mitos di balik perintah dan larangan tersebut. Namun yang menarik, bagaimana sebuah perintah dan larangan dari dua komunitas bisa berbaur. Saling menghormati dan menghargai keyakinan masing-masing. Toleransi yang terjadi serentak dalam satu lokasi. Itulah yang terjadi dari dulu hingga kini di Pura Lingsar. Sebuah pura tertua dan terbesar di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Penganut Islam dan Hindu pun bahu-membahu untuk menjaga dan mengelolanya, bahkan mereka pun mengadakan upacara adat bersamaan. Tidak ada sekat. Tidak ada curiga.  Yang ada adalah sebuah harmoni yang mungkin perlu ditata lagi di masa kini. Harmony in diversity, Bhinneka Tunggal Ika yang telah dipraktekan secara turun-temurun. "Ibu yang sedang datang bulan, dimohon untuk tidak masuk ke pura" "Babi dan sapi dipastikan tidak ada di sini" "Siapkan uang logam" Itulah pengumuman yang sudah diingatkan berkali-kali ketika kami masih dalam perjalanan dari Senggigi. Pura tersebut dibangun oleh Raja Mataram- Anak Agung Ngurah- pada tahun 1714.  Nama kerajaan lengkapnya adalah Mataram Karang Asem, yaitu ketika Lombok bagian barat masih di bawah kekuasaan dari kerajaan di Bali- tetangga pulau yang hanya dipisahkan oleh Selat Lombok. Tampak  sepi, namun tidak menutup keasrian dan kesederhanaan sebuah tempat ibadah bersama. Ketika masuk dari pintu utama, dua kolam penuh bunga teratai pun mengapit kami di kedua sisi jalan.

Kami pun berjalan di antara jalan bebatuan dan berdebu yang relatif terawat. "Kami sebenarnya kurang orang untuk menjaga dan memelihara tempat ini", keluh pemandu lokal. Namun masyarakat di sekitar tetap menjaga dan memeliharanya bersama-sama. Padahal luasnya lebih dari 20 hektar. "Keramaian dan rezeki kami tergantung Bali", jawabnya ketika kami menanyakan kenapa hari ini sepi. Ya, paket wisata Bali-Lombok memang menjadi salah satu "jualan" untuk para wisatawan, khususnya dari mancanegara. "Jika pengunjung Bali pun sepi, maka kami kena getahnya", tambahnya. Bali dan Lombok seolah menjadi satu paket. Dan itu terbukti dengan sejarah masa lalu dan simbol-simbol tradisi dan budaya di antara keduanya yang masih tetap lestari sampai saat ini.  Saya jadi teringat dengan gurauan pemandu lokal tentang singkatan BALI yakni Bali Akui Lombok Indah. Jika mau melihat keramaian dan "perang" antar dua penganut keyakinan, datanglah ke sini sekitar akhir tahun, tepatnya dibulan November atau Desember. Pada musim rontok daun waru itu, penganut Hindu dan Islam- khususnya aliran Wetu Telu, mengadakan upacara secara bersamaan. Upacara Pujawali dan Perang Ketupat. Upacara Pujawali di tempat lain hanya dilakukan oleh orang hindu saja. Namun di Pura Lingsar, prosesinya diselenggarakan secara bersama oleh orang sasak sebagai penduduk asli pulau lombok dengan orang bali yang sudah menetap turun temurun di Pulau Lombok. Sebuah rangkaian upacara adat dan budaya yang harmonis. Setelah Pujawali selesai, "perang" pun dimulai di area Pura Kemaliq. "Peluru" yang digunakan adalah ketupat. Warga pun asyik saling melemparkan ketupat dengan sasarannya teman sendiri yang seolah berbaur tanpa mempedulikan perbedaan keyakinan di antara mereka. Sebuah perang yang damai. Sebuah perang rutin yang berharap pada kemakmuran dam kesejahteraan penduduk di sekitar pura. Dan ketupat yang penyok berserakan di tanah dipungut untuk dibawa pulang. Digantungkan atau diletakkan di pojok sawah yang diharapkan tumbuh subur dan menghasilkan padi yang melimpah. Itulah sekelumit cerita upacara adat bersama yang disampaikan oleh narasumber lokal. Kami pun terus berjalan ke arah belakang. Akhirnya kami sampai di area sumber air yang dianggap suci. Sebelum masuk ke area tersebut, pinggang kami harus dililit dengan selendang kuning. Kami pun antri untuk mengambil selendang yang diletakkan di sebuah meja kayu sederhana. Sebuah peti kecil terlihat mencolok di atas meja itu, ditemani oleh nampan yang berisi telur matang. Kami pun memasukkan uang sumbangan ke peti tersebut, sambil berharap semoga bantuan kecil dari para wisatawan bisa membantu upaya pelestarian Pura Lingsar. Sebuah kolam kecil berair bening terlihat di depan kami setelah memasuki pintu masuk ke area pura yang berada di belakang. Di samping kolam terlihat beberapa orang sedang memanjatkan doa. Tempat meminta untuk semua orang tanpa melihat agama atau keyakinannya. Kolam terlihat bening sekali. Dasar kolam yang berbatuan pun terlihat jelas. Yang menarik, dasar kolam tersebut dipenuhi kerlipan atau pantulan cahaya dari keping uang logam yang berserakan di dasar kolam. Ya, uang logam itulah yang dilemparkan pengunjung dari balik pagar yang membatasi kolam. Sambil berdiri membelakangi kolam, sekeping uang logam pun dilemparkan dengan sasaran tepat ke tengah kolom. Lemparan uang logam- yang mungkin sudah relatif tidak berharga lagi dalam transaksi ekonomi saat ini, menjadi simbol mengais peruntungan atau rezeki. Setelah ritual lempar uang selesai, penjaga situs kemudian membuka pintu pagar dan masuk ke area kolom. Beberapa butir telur matang ada di genggamannya. Ritual memanggil ikan tuna yang dianggap keramat dan suci pun dimulai. Remahan telur matang pun disebarkan di kolam. Sesekali tangan kanan pemadu menepok-nepok pinggir kolam, sebagai upaya untuk mengundang kedatangan ikan-ikan keramat. Setelah beberapa saat, akhirnya kami melihat kepala ikan tuna menyembul dari lubang yang menganga di dasar kolam. Hanya setengah badannya saja yang tampak. Kembali bersembunyi ke dalam lubang setelah menyantap remahan telur yang melayang-layang di hadapannya. Mungkin kami hanya bisa memperoleh setengah rezeki atau peruntungan yang kami harapkan nanti. Begitulah penampakan ikan keramat- yang katanya ada sekitar 9 ekor dengan rata-rata panjang satu meteran, dikaitkan dengan peruntungan dari orang-orang yang bisa melihatnya. Tidak jauh dari situ, di sisi yang berseberangan dengan sumber air, kami pun membasuh muka dengan air yang memancur dari lima pancuran air yang berasal dari kolam keramat. Konon, sumber air tersebut berasal dari Gunung Rinjani yang terlihat menjulang tinggi diselimuti awan tebal. Ada legenda di balik semburan air tersebut. Syahdan, dahulu kala Lombok Barat dikuasai oleh Karajaan Medain. Suatu ketika Sang Putera Mahkota bernama Raden Mas Sumilir menancapkan tongkat di tanah Bayan. Pada saat tongkat itu dicabut, air pun memancar deras dari dalam tanah, terus melaju deras membentuk telaga atau kolam. Dalam bahasa Sasak, melaju diartikan "lengsar". Akhirnya tempatnya pun disebut dengan "Lingsar".  Legenda ini mirip dengan cerita Situ Bagendit di Garut, ketika tongkat yang ditancapkan oleh nenek tua, dicabut oleh Nyai Endit yang kikir dan jahat pada masyarakat sekitar. Semoga harmoni itu terus mengalir bening dan lestari, melaju dan menjalar ke seluruh nusantara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline