Lihat ke Halaman Asli

bucek molen

Konsultan

Ketika Cahaya Memilih Pulang

Diperbarui: 15 Oktober 2025   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Path to Silence by Gemini

Siang itu, aku hanya ingin memenuhi permintaan sederhana dari teman masa SD: mie Aceh.
Empat kursi, empat piring, empat tawa yang membawa kami kembali ke bangku SD. Rasanya biasa saja, tapi hangat. Seolah dunia memberi jeda singkat untuk kami saling melihat sekali lagi.

Salah satu dari kami, Tuti—teman yang dulu paling sering menertawakanku—tampak lebih tenang dari biasanya. Kami berbincang ringan, seperti tidak pernah ada jarak atau waktu yang memisahkan. Tak ada yang tahu, siang itu akan menjadi pertemuan terakhir kami dalam keadaan lengkap.

Sore hari, kami berpisah dengan ringan. Tidak ada firasat, tidak ada tanda. Malamnya kabar itu datang—Tuti rebah, terkena stroke, lalu terlelap terlalu dalam. Sejak hari itu, ia tak pernah benar-benar bangun lagi. Hingga akhirnya, ia pergi… dengan cahaya yang tak sempat padam di ingatanku.

Aku masih memutar ulang siang itu di kepalaku—bagaimana cahaya di matanya begitu hidup, lalu redup dalam hitungan jam.
Ia dulu teman yang paling banyak tertawa di antara kami. Tapi setelah stroke itu, tubuhnya diam, hanya matanya yang sesekali bercerita. Hingga suatu pagi, cahaya di matanya benar-benar pulang—meninggalkan kami dengan sunyi yang terasa gelap.

Sejak kepergian Tuti, aku sering teringat pembicaraan kami di warung mie Aceh itu.
Tuti sempat bilang, “Aku mau ketemu Imas.” Banyak hal yang belum sempat ia sampaikan padanya. Dulu, aku tahu Imas menyukaiku, dan aku tidak pernah benar-benar menanggapinya dengan tulus. Aku sering memanfaatkan perhatiannya tanpa berpikir panjang. Aku banyak salah kepadanya, dan aku ingin meminta maaf.Kini, penyesalan datang seperti gema yang tak punya tempat pulang.Tuti berpulang tanpa sempat meminta maaf kepada Imas.

Mungkin itu sebabnya, di setiap kehilangan aku merasa harus menebus sesuatu yang belum selesai.

Beberapa waktu kemudian, sepupuku menyusul ke rumah sakit. Bolak-balik dirawat di RS terkenal  di Jakarta, lalu dibawa ke salah satu rumah sakit terkenal di negara tetangga. Segala usaha dilakukan, semua doa dipanjatkan. Tapi di ujungnya aku belajar lagi—bahwa umur tidak bisa diprediksi. Sebanyak apa pun uang yang kita miliki, sehebat apa pun perawatan yang diberikan, ketika waktunya datang, kita tidak bisa menolak.

Kadang aku berpikir, mungkin hidup memang bukan soal panjangnya waktu, tapi seberapa dalam kita sempat saling melihat. Ada pertemuan yang hanya sebentar, tapi cukup untuk mengubah cara kita memandang dunia.
Mungkin itu maksudnya ketika orang berkata: setiap cahaya punya waktu untuk berpulang.
Dan kita hanya bisa belajar untuk tidak menunda apa yang seharusnya diucapkan hari ini.

Sejak itu aku sadar, umur bukan milik kita. Aku tidak tahu apakah esok aku masih diberi kesempatan. Maka malam itu aku mengetik sebuah pesan—pendek, gugup, tapi jujur. Permintaan maaf untuk seseorang yang dulu pernah sangat berarti. Aku tidak tahu apakah sempat mengatakannya langsung, jadi aku kirimkan saja ... sebelum terlambat.

Hidup ternyata sesingkat cahaya di mata.
Terang… lalu redup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline