Lihat ke Halaman Asli

Ardhi MadaniRasyid

Mahasiswa Akademi Digital Bandung

Pancasila Sebagai Titik Temu Sekaligus Arena Pertarungan Ideologi: Fasisme, Komunisme, Dan Islamisme di Indonesia

Diperbarui: 19 Juni 2025   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Disusun oleh: Diva Friatna 

Institusi: Akademi Digital Bandung

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, tentunya bukan hanya sekadar lima sila yang d irumuskan dalam suatu teks. Pancasila adalah kesepakatan hasil dari proses sejarah yang panjang, penuh dinamika dan pergulatan ideologis. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, Pancasila juga menjadi titik temunya berbagai ideologi perjuangan, sekaligus menjadi arena pertarungan antar ideologi tersebut yang mencoba memengaruhi arah bangsa, setiap dari mereka berjuang dengan caranya masing-masing untuk menggapai cita-cita ideologi politiknya hingga tegaknya suatu pemerintahan yang berlandaskan pada satu ideologi yang utuh. Di antara ideologi-ideologi tersebut, tiga yang paling mencolok dalam sejarah Indonesia adalah fasisme, komunisme, dan islamisme.

Sebelum kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ketiga ideologi tersebut yaitu fasisme, komunisme, dan islamisme mau tidak mau dipaksa oleh keadaan pada waktu itu untuk "bersatu". Mereka menyatukan kekuatan dalam satu tujuan besar, yaitu mengusir penjajah dari tanah air Indonesia. Kebersamaan itu pun terwujud dalam forum musyawarah nasional untuk menentukan dasar negara, hingga akhirnya lahirlah Pancasila sebagai hasil kesepakatan bersama. Disini pancasila sebagai titik temu ideologi fasisme, komunisme, dan islamisme. 

Pada masa penjajahan Jepang, pengaruh ideologi fasisme mulai tampak nyata di Indonesia. Jepang menerapkan pendekatan otoriter dan militeristik yang menekankan sistem komando tunggal serta loyalitas mutlak kepada pemimpin. Pola kepemimpinan semacam ini, meskipun muncul dalam konteks penjajahan,secara tidak langsung dipraktikkan oleh negara Indonesia pasca-kemerdekaan, terutama dalam masa pemerintahan era Orde Baru yang dikenal dengan kekuasaan terpusat dan gaya pemerintahan yang kuat. Meskipun dikemas dalam semangat Pancasila, pola-pola otoriter tersebut mencerminkan bayang-bayang fasisme yang masih memengaruhi dinamika politik nasional.

Komunisme hadir di Indonesia melalui berbagai jalur, mulai dari pemikiran tokoh-tokoh pergerakan yang terpapar ideologi kiri dari luar negeri, hingga pembentukan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kendaraan politiknya. Ideologi ini menawarkan cita-cita besar tentang keadilan sosial melalui penghapusan kelas dan kepemilikan bersama. Namun, komunisme mengalami benturan nilai dengan Pancasila sebagai dasar negara, terutama pada sila pertama yang menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, serta sila kelima tentang keadilan sosial yang berlandaskan kemanusiaan. Selain itu di Indonesia, ideologi komunisme diidentikkan dengan atheisme dan anti terhadap agama. Puncak pertarungan ideologis ini terjadi dalam tragedi nasional G30S/PKI pada tahun 1965, yang menandai kegagalan komunisme untuk menjadi ideologi dominan di Indonesia dan memperkuat posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa. 

Sementara itu, islamisme sebagai bentuk ideologi politik Islam juga memiliki sejarah panjang di Indonesia. Islam menjadi mayoritas di Indonesia, sehingga dalam pandangan penganut islam politik, penerapan syariat Islam secara keseluruhan bagi pemeluk-pemeluknya sebagaimana yang tercantum pada piagam jakarta sebelum terjadinya penghapusan akan 7 kata itu adalah suatu keniscayaan. Islamisme sebagai ideologi cenderung ingin menghapuskan sistem sekuler dan menggantinya dengan hukum Islam secara menyeluruh, hukum yang berlandaskan Al-Qur'an. 

Di tengah pertarungan tiga ideologi besar ini, Pancasila hadir sebagai titik temu yang mempersatukan. Pancasila tidak berpihak secara ekstrem kepada satu paham tertentu, melainkan berusaha merangkul dan mengakomodasi unsur-unsur terbaik dan positif dari masing-masing: ketertiban dan kedisiplinan seperti yang tercermin dalam fasisme, keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan komunisme, serta nilai-nilai ketuhanan dan moralitas dari Islam. Pancasila menjadi payung besar yang menaungi keragaman ide dan keyakinan, tanpa kehilangan jati diri sebagai dasar negara yang inklusif. Namun dalam realitasnya, Pancasila bukan hanya titik temu, melainkan juga menjadi arena pertarungan ideologis. Setiap dari mereka berjuang dengan caranya masing-masing untuk menggapai cita-cita ideologi politiknya hingga tegaknya suatu pemerintahan yang berlandaskan pada satu ideologi yang utuh, mereka tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan tetap berupaya menunjukkan eksistensinya melalui berbagai cara, seperti gerakan bawah tanah, propaganda, hingga infiltrasi ke dalam lembaga negara dan dunia pendidikan. Di era digital dan globalisasi saat ini, tantangan ideologis menjadi semakin kompleks, mulai dari munculnya komunisme gaya baru, hingga fasisme dalam bentuk nasionalisme sempit. Di sinilah pentingnya peran pendidikan Pancasila sebagai benteng ideologis bangsa untuk memperkuat jati diri nasional dan menjaga keutuhan Indonesia.

Pada intinya Pancasila bukan hanya dasar negara, melainkan suatu hal yang berawal dari kesepakatan bersama yang dimana disana juga menjadi medan tempur ideologi dan menjadi titik temu gagasan-gagasan besar. Generasi muda harus memahami bahwa Pancasila bukan sekadar hafalan lima sila, tetapi panduan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia yang dinamis dan kontekstual.

DAFTAR PUSTAKA

Andar Nubowo. (2015). Islam dan Pancasila di Era Reformasi: Sebuah Reorientasi Aksi. Jurnal 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline