Lihat ke Halaman Asli

Benito Sinaga

Petani, pemburu, dan peramu

Tanpa Niat Pun Bisa Bersalah: Kasus Tom Lembong dan Rasionalitas Pemidanaan Korupsi

Diperbarui: 29 Juli 2025   08:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koruptogenik struktural (ai generate 2025)

Logika Baru dalam Pemidanaan Korupsi

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, telah memantik perdebatan publik yang hangat. Banyak pihak mempertanyakan keputusan hakim yang tetap menyatakan Tom Lembong bersalah, meski dalam pertimbangan hukumnya disebutkan bahwa tidak ditemukan niat jahat (mens rea) dan terdakwa tidak terbukti menikmati hasil korupsi secara langsung. 

Salah satu suara paling nyaring datang dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang menyebut bahwa vonis tersebut janggal karena tidak berdasar pada pembuktian kesalahan subjektif. Pandangan ini pun cepat merepresentasikan kegelisahan publik, khususnya mereka yang terbiasa memahami hukum pidana dengan prinsip klasik: “tidak ada pidana tanpa kesalahan” (Kompas.com)

Namun, pandangan tersebut perlu ditempatkan dalam konteks evolusi hukum pidana modern, khususnya terkait korupsi. Saat ini, pendekatan hukum dalam tindak pidana korupsi tidak lagi sepenuhnya bergantung pada pembuktian niat jahat yang eksplisit. Konsep tanggung jawab pidana telah bergeser, dengan memberikan penekanan lebih pada aspek kelalaian struktural dan dampak kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan pejabat publik.

Artikel ini berargumen bahwa meskipun tidak terbukti ada niat jahat yang eksplisit, Tom Lembong tetap layak dipidana karena hukum tindak pidana korupsi kontemporer memberlakukan pertanggungjawaban struktural atas kelalaian pejabat yang berakibat memperkaya orang lain dan merugikan negara.

Argumentasi ini akan dibangun dengan menganalisis ketentuan dalam UU Tipikor, yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, serta teori hukum yang memperkuat basis pemidanaan korupsi tanpa mens rea yang eksplisit.

Memahami Pasal 2 UU Tipikor dan Unsur Delik Formil

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:

"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Unsur-unsur kunci yang perlu diperhatikan dalam pasal ini adalah:

  • "Secara melawan hukum"
  • "Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi"
  • "Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara"

Perlu dipahami bahwa Pasal 2 UU Tipikor awalnya merupakan delik formil, yakni tindak pidana yang penekannya bukan pada akibat yang ditimbulkan, melainkan pada perbuatan yang dilarang (Hukumonline). Hal ini berarti bahwa pembuktian tidak perlu sampai pada adanya akibat nyata berupa kerugian negara, cukup bahwa perbuatan tersebut secara normatif melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan berpotensi merugikan keuangan negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline