Klowor sebetulnya bernama Suyanto. Oleh karena suka memakai celana kolor komprang setinggi dhengkul, sama para tetangga di panggilnya Klowor. Dia tidak marah, oleh karenanya para tetangga suka memanggilnya dengan panggilan akrab Klowor. Pekerjaan utamanya sebagai Penjagal Sapi, meneruskan warisan pekerjaan orang tuanya, sejak tahun dua ribu sepuluhan, atas penunjukan ayahnya ang sudah pikun.
Rumah yang ditempati Klowor itu juga pemberian orang tuanya. Lumayan besar, terletak di gang kecil, yang jika diteruskan ujungnya sampai ke Sungai Bengawan Solo. Tempat penyembelihan sapi berada di rumah belakang, yang lantai dasarnya sudah diplester halus, dan dilengkapi saluran kecil yang dialirkan ke Bengawan Solo. Di pojok rumah belakang sudah dilengkapi sumur, kamar mandi, dan toilet, sekaligus ada lantai khusus sebagai tempat mencuci jerohan sapi baru yang disembelihnya.
Beda tata cara orang tuanya dalam menjagal sapi, yang ritmenya dilakukan dengan santai, dan nrima secukupnya ala kadarnya, tidak bernafsu ingin memperoleh laba yang sebanyak-banyaknya. Setelah diserahi tanggungjawab sebagai jagal dari ayahnya, Klowor melakukan rekayasa penyembelihan yang tidak seperti biasanya. Rekayasanya menjadikan kehidupan keluarganya dalam soal materi menjadi semakin menanjak. Rumah pemberian orang tuanya juga direhabilitasi dengan meninggikannya, dan di lengkapi pot-pot bunga beraneka macam. Teras rumah diperbaiki juga diganti bermotif Model Spanyolan, dan gentingnya diganti dengan warna merah menyala. Mobilnya ada dua. Satu mobil pickup gundhul terbuka untuk beli sapi di pasar. Jika membeli sapi, sekarang tidak hanya satu, akan tetapi kadang sampai empat atau lima. Timur rumahnya dibuat kandang untuk memasukkan sapi cadangan dengan mengikatnya satu per satu agar tidak saling serang. Langganan pembeli daging semakin banyak, karena persediaan daging, tulang belulang sapi, disiapkan mencukupi permintaan.
Kepribadian Klowor sekarang banyak perubahannya. Namun pergaulan dengan para tetangga malahan semakin supel dan bersahabat. Dia semakin ringan tangan, dan mudah menaruh simpati demi menolong para tetangga, sehingga Klowor semakin mendapat simpati publik. Dengan para remaja di kampungnya dia semakin akrab, malahan dipilih menjadi Ketua Karang Taruna, sehingga dijadikan tauladan bagi para remaja. Jika ada perhelatan di kampung, atau kesusahan adanya musibah, dan urusannya diserahkan ke Klowor, hasilnya pasti tidak mengecewakan, semua remaja rela membantunya secara bergotong royong.
Jam tiga, dini hari, saat orang kebanyakan msih enak-enaknya tidur nyenyak. Rumah belakang Klowor sudah ada kesibukan untuk menyembeleh sapi dengan para pembantunya. Terdengar, gedebug...... sapi kakinya dijegal, dan di dijatuhkan terlentang miring di satu sisi badan. Selanjutnya....... terdengar syuurr... syuurr.......darah sapi menyembur. Sapi dikuliti, diiris-iris dagingnya, dan tidak lama kemudian kedengaran suara plethak-plethok kapak dan pisau badik besar mentetak potong habis semua tulang-tulangnya.
"Min....sapi yang disembelih yang diikat paling barat dulu ya!." Begitu, biasanya Klowor memerintahkan pembantunya.
"Ya Mas." Jawab yang disuruh.
Para pelanggan pembelian daging kebanyakan pedagang bakso, dan jam empat, biasanya sudah pada berdatangan. Satu dan lainnya sudah punya perjanjian masing-masing, berapa kebutuhan daging, jêrohan, dan tulang-tulangan yang diperlukan. Oleh karenanya, jika langganan sudah datang, cepat segera dapat dilayani tanpa harus bertanya lagi. Begitulan simponi kegiatan pagi berjalan, tanpa hambatan yang berarti merintanginya.
"Le....!. Bangunlah, ini sudah jam setengah tiga, nanti terlambat membantunya menyembelih sapi!.? Seorang ayah membangunkan anakmya yang tiap dini hari biasa membantu Klowor.
"Pak...., saya sudah minta ijin Mas Klowor jika sudah tidak dapat membantu menyembelih sapi lagi."
" Lha....bagaimana ta Le. Apa kamu mempunyai kesalahan dengan Mas Klowor?/"