Negara agraris seperti Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang berdaulat pangan. Namun, hingga kini ketergantungan pada impor, ketimpangan penguasaan lahan, dan lemahnya posisi petani dalam rantai produksi masih menjadi hambatan utama.
Periode pemerintahan sejak orde baru hingga saat ini selalu mendorong ketahanan pangan sebagai program prioritas. Sebab, tanpa kemampuan untuk memproduksi pangan secara mandiri, sebuah negara akan selalu berada dalam posisi yang rentan terhadap krisis global. Di sisi lain untuk membangun sistem pangan yang kuat dan berkelanjutan, ada satu elemen mendasar yang kerap terlupakan yakni akses dan jaminan hak atas tanah.
Tanah bukan sekadar ruang fisik, tetapi merupakan sumber kehidupan bagi jutaan petani yang menggantungkan hidup dari lahan pertanian. Ketersediaan lahan yang memadai dan hak atas tanah menjadi syarat mutlak agar petani bisa berproduksi secara optimal.
Presiden Soekarno saat meresmikan gedung pertama di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada tanggal 27 April 1952, beliau melontarkan pernyataan bahwa "urusan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa". Ia juga menyebut bahwa masalah pangan tidak lepas dari hak atas tanah, wilayah adat, dan wilayah tangkap para produsen pangan.
Artinya, untuk menciptakan sistem pangan yang adil dan berkelanjutan, ketahanan pangan bukan sekadar tuntutan sejarah, tetapi jaminan hak atas tanah bagi petani yang harus dipenuhi.
Konflik Agraria dan Ketimpangan Penguasaan Lahan
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa 1% penduduk Indonesia menguasai lebih dari 50% tanah produktif. Sementara itu, mayoritas petani Indonesia menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang - Undang Pasal 8 Nomor 56, Tahun 1960 menyebutkan bahwa setiap keluarga petani memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar, pasal ini menetapkan batas minimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian seluas 2 hektar.
Ketimpangan ini membuat petani tidak berdaya untuk menentukan sistem produksi pangan secara mandiri. Jika ada 1% penduduk Indonesia yang menguasai sebagaian besar tanah produktif, maka inilah yang menyebabkan lemahnya posisi petani dalam rantai produksi pangan nasional.
Selain itu, konflik agraria di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Sepanjang tahun 2024, catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan terjadi 295 letusan konflik agraria. Konflik-konflik ini mencakup lahan seluas 1,1 juta hektar, 67.436 keluarga terdampak tersebar di 349 desa. Sektor perkebunan, terutama kelapa sawit, menjadi penyumbang terbesar dengan 111 kasus.
Sebagian besar konflik terjadi karena pengambilalihan lahan pertanian oleh perusahaan-perusahaan besar untuk perkebunan, pertambangan, dan proyek infrastruktur. Tanpa jaminan hak atas tanah, mustahil petani dapat memproduksi pangan secara berdaulat.