Lihat ke Halaman Asli

Perang Akademik Jalan Baru Generasi Dayak

Diperbarui: 28 Juli 2025   17:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, suku Dayak dikenal sebagai penjaga hutan, pemilik tanah Borneo, dan pejuang tangguh yang tak mudah ditaklukkan. Namun kini, medan tempur generasi muda Dayak telah bergeser. Mereka tak lagi mengangkat mandau di hutan rimba, melainkan pena, buku, dan gagasan di ruang-ruang akademik. Inilah perang baru perang akademik, sebagai jalan baru bagi kebangkitan dan kedaulatan intelektual generasi Dayak.

Dari Hutan ke Kampus

Dahulu, suku Dayak identik dengan kearifan lokal yang hidup berdampingan dengan alam. Tapi modernisasi dan tekanan globalisasi telah menggerus banyak sendi kehidupan adat. Lahan-lahan adat direbut, hutan digunduli, identitas budaya mulai memudar. Dalam kondisi ini, generasi muda Dayak menghadapi pilihan: tunduk dan terpinggirkan, atau bangkit dengan strategi baru.

Strategi itu adalah pendidikan. Bagi generasi Dayak masa kini, kuliah bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan bentuk perlawanan. Masuk universitas, meraih gelar sarjana hingga doktor, mengisi ruang-ruang diskusi, menulis jurnal dan buku---semua ini adalah bentuk pertempuran untuk mengangkat martabat komunitas.

Perang akademik bukan berarti meninggalkan akar budaya. Sebaliknya, justru dengan modal akademik, generasi Dayak dapat mempertahankan, meneliti, dan mempromosikan budaya mereka sendiri dengan cara yang dihormati di dunia modern. Di ruang akademik, mereka bisa menggugat ketimpangan, mengkritisi kebijakan, dan menyuarakan hak-hak masyarakat adat dengan legitimasi ilmiah.

Lewat riset-riset tentang hukum adat, hak tanah ulayat, ekologi tradisional, dan filsafat lokal Dayak, generasi muda dapat merumuskan ulang posisi komunitas mereka dalam negara. Mereka bisa memengaruhi kebijakan publik, menjadi birokrat, dosen, peneliti, hingga politisi yang berakar kuat pada identitas Dayak.

Namun, jalan ini bukan tanpa tantangan. Masih banyak anak Dayak yang kesulitan mengakses pendidikan tinggi karena faktor ekonomi dan geografis. Stereotip dan diskriminasi pun masih menjadi hambatan psikologis. Selain itu, ada godaan untuk meninggalkan akar budaya demi mengejar modernitas.

Oleh karena itu, penting bagi komunitas dan pemangku kepentingan untuk membangun ekosistem pendidikan yang mendukung. Beasiswa khusus, universitas yang membuka ruang kajian Dayak, literasi digital di desa-desa, serta peran aktif orang tua dan tokoh adat adalah kunci agar "perang akademik" ini benar-benar bisa dimenangkan.

Generasi Dayak masa kini tidak perlu memikul mandau untuk disebut pejuang. Dengan pena, mereka bisa menulis sejarah baru. Dengan riset, mereka bisa merebut narasi yang selama ini dikuasai pihak luar. Dengan ilmu, mereka bisa menjadi pemimpin yang bukan hanya cerdas, tapi juga berakar dan bijaksana.

Perang akademik adalah jalan panjang dan sunyi. Tapi di ujungnya, terbentang harapan, sebuah kebangkitan Dayak yang modern namun tetap setia pada jati dirinya. Inilah medan baru yang harus dijelajahi demi kehormatan, keadilan, dan masa depan suku Dayak di tanah airnya sendiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline