Lihat ke Halaman Asli

Bagas Kurniawan

TERVERIFIKASI

Biotechnologist and Food Technologist

MBG Sebagai Jalan Pelestarian Makanan Lokal

Diperbarui: 2 Oktober 2025   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pangan Lokal | Wafieq Akmal/unsplash.com

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) dirancang sebagai investasi besar pemerintah dalam membangun generasi yang lebih sehat, cerdas, dan produktif. Dengan memberi makanan bergizi setiap hari di sekolah, pemerintah berupaya menekan angka stunting, meningkatkan status gizi, dan mendorong pemerataan kesehatan anak bangsa.

Namun, program ini tidak boleh dipandang sebatas "memberi makan." MBG punya potensi lebih besar, yaitu mendorong pelestarian pangan lokal Indonesia.

Dapur Sekolah sebagai Ujung Tombak

Salah satu solusi yang sering muncul dalam diskusi publik adalah pembangunan dapur MBG di sekolah atau pengelolaan kantin sekolah secara lebih profesional. Selama ini, distribusi makanan sering kali bergantung pada pihak luar (mitra penyedia). Meski efisien secara logistik, jalur distribusi panjang berisiko menurunkan kualitas makanan, bahkan menimbulkan keracunan massal jika standar higiene tidak terjaga.

Dengan adanya dapur sekolah atau pengelolaan kantin internal, kontrol terhadap kualitas bahan, cara memasak, dan higienitas lebih mudah dilakukan. Anak-anak tidak hanya menerima makanan yang lebih aman dan segar, tetapi juga bisa belajar mengenal proses penyajian pangan yang sehat.

Menu Pangan Lokal sebagai Pilihan Strategis

Pangan lokal memiliki keunggulan yang tidak bisa diabaikan. Pertama, dari sisi gizi, banyak makanan tradisional Indonesia sudah terbukti kaya nutrisi. Bubur Manado (tinutuan) mengombinasikan karbohidrat, protein, dan aneka sayur. Papeda berbasis sagu rendah glikemik, cocok untuk menjaga stabilitas energi. Rendang kaya protein hewani sekaligus rempah dengan sifat nutrasetikal.

Kedua, dari sisi penerimaan anak, makanan lokal lebih mudah diterima karena sesuai dengan kebiasaan dan cita rasa daerah. Gudeg mungkin cocok di Jawa, tapi tidak di Sulawesi. Sebaliknya, papeda bisa jadi primadona di Maluku atau Papua, namun terasa asing di Jawa. Bila menu MBG dipaksakan seragam, risiko makanan terbuang sangat tinggi karena anak-anak enggan mengonsumsi makanan yang tidak sesuai lidah mereka.

WHO (2003) menegaskan bahwa intervensi gizi hanya efektif jika sesuai dengan budaya lokal. Dengan kata lain, MBG sebaiknya membiarkan SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) lokal merancang menu mereka sendiri, dengan panduan standar gizi dari BGN.

Ilustrasi pasar lokal | Sumber gambar: Falaq Lazuardi/unsplash.com

Menguatkan Rantai Pangan Lokal

Menggunakan pangan lokal berarti membeli langsung dari petani, nelayan, dan UMKM di sekitar sekolah. Ini bukan hanya soal makanan, tetapi soal perputaran ekonomi lokal.

Ketika sekolah membeli sayur dari petani setempat, ikan dari nelayan di desa, atau tempe dari pengrajin lokal, maka uang program MBG langsung kembali ke masyarakat. Dengan demikian, MBG tidak hanya menyehatkan anak-anak, tetapi juga menguatkan ekonomi keluarga di sekitar sekolah.

Model ini juga sejalan dengan prinsip keberlanjutan pangan: mengurangi ketergantungan pada pangan impor atau produk ultra-proses (UPF), sekaligus memperpendek rantai distribusi. Semakin pendek rantai distribusi, semakin segar makanan, semakin kecil risiko kontaminasi.

Pelestarian Pangan Lokal dan Identitas Budaya

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline