Menyoroti praktik kekerasan terselubung di lingkungan kampus yang dibungkus dalih pembinaan dan pendisiplinan mahasiswa baru.
Penindasan di era modern mungkin tidak selalu terlihat secara eksplisit, tetapi praktiknya masih sering terjadi. Salah satu bentuknya dapat ditemukan di lingkungan universitas, terutama dalam kegiatan Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) yang biasanya berlangsung selama musim mahasiswa baru (maba). Kegiatan ini sejatinya ditujukan untuk mengenalkan mahasiswa baru pada lingkungan kampus, namun dalam praktiknya kerap menjadi ajang eksploitasi yang merujuk pada kekerasan struktural maupun kultural. Akar dari kekerasan ini tidak jarang didasari oleh semangat balas dendam dan budaya senioritas yang menempatkan mahasiswa baru sebagai pihak yang harus "dibentuk" melalui tekanan.
Yang menyedihkan, praktik-praktik penindasan tersebut terus dilanggengkan dengan alasan telah menjadi tradisi turun-temurun. Banyak yang menganggap bahwa karena mereka dulu juga mengalaminya, maka generasi selanjutnya pun harus merasakan hal yang sama. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, siklus ini tidak lebih dari bentuk balas dendam yang dibungkus dengan kata "tradisi". Pemakluman semacam ini membuat kegiatan ospek jarang dievaluasi secara kritis, dan terus dilestarikan meski tidak relevan lagi dengan nilai-nilai pendidikan modern.
Dalam sejarahnya, praktik perploncoan telah terjadi sejak zaman kolonial Belanda di institusi pendidikan seperti STOVIA. Saat itu, perbedaan status antara senior dan junior dijunjung tinggi. Hingga kini, pola pikir tersebut masih diwarisi dan dipraktikkan dalam berbagai bentuk kekerasan, meskipun kekerasan fisik sudah mulai dikurangi seiring meningkatnya kesadaran akan hak asasi manusia. Namun demikian, bentuk-bentuk penindasan lain tetap ada dan sering dianggap lazim, antara lain:
Aturan Dress Code yang Ekstrem
Beberapa aturan berpakaian yang diterapkan terkesan berlebihan, seperti keharusan memakai rok, larangan menggunakan bawahan berwarna terang, kewajiban mengenakan jilbab putih setiap hari, serta pembatasan jenis jilbab yang hanya memperbolehkan model segi empat. Aturan-aturan ini dinilai tidak memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mengekspresikan diri secara bebas dan nyaman.Penggunaan Atribut yang Memicu Diskriminasi dan Segregasi
Kewajiban mengenakan atribut seperti name tag dan tanda pengenal selama berada di lingkungan kampus berpotensi menimbulkan diskriminasi dan segregasi sosial. Atribut tersebut kerap kali menjadi penanda status yang justru memperkuat batasan antara kelompok mahasiswa tertentu.Tekanan Verbal dan Psikologis
Tindakan pembatasan penggunaan fasilitas seperti lift serta sikap senioritas yang disertai intimidasi seringkali digunakan untuk menundukkan mahasiswa baru. Praktik semacam ini menciptakan tekanan psikologis yang dapat berdampak negatif terhadap kenyamanan dan kebebasan berekspresi mahasiswa.Eksploitasi Waktu dan Finansial
Kegiatan seperti ospek fakultas (osfak) dan ospek jurusan (osjur) yang sering dilakukan di luar pengawasan kampus dinilai menyita banyak waktu, tenaga, dan biaya. Tidak jarang mahasiswa baru merasa terbebani karena harus membeli berbagai perlengkapan yang sebenarnya tidak terlalu penting. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi dan tujuan dari kegiatan tersebut.
Jika dibandingkan dengan sistem pendidikan di luar negeri, praktik ospek semacam ini menunjukkan betapa tertinggalnya pendekatan pendidikan di Indonesia. Untuk itu, daripada terus mempertahankan tradisi ini yang justru memperburuh kualitas Pendidikan, system Ospek seperti ini perlu dievaluasi secara menyeluruh dan dihapuskan dari system Pendidikan karena tujuan adalah Ospek untuk mengenalkan mahasiswa baru pada lingkungan kampus, bukan menjadi ajang penindasan. Dalam kurun waktu terakhir, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang melarang segala jenis perundungan, penindasan, dan perploncoan pada Ospek dan mengganti namanya dengan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Meskipun pelaksanaan Ospek secara umum telah mengikuti prosedur dan cenderung tidak lagi bersifat menindas, kegiatan Osfak dan Osjur sering kali diadakan di luar pengawasan kampus sehingga berpotensi menyimpang dari aturan yang seharusnya. Untuk itu, diperlukan pengawasan dan regulasi yang ketat agar orientasi mahasiswa tetap fokus pada tujuan utamanya, yaitu mengenalkan lingkungan akademik secara positif dan konstruktif, tanpa adanya unsur intimidasi, tekanan, dan kekerasan yang tidak perlu.
Rantai penindasan dalam kegiatan orientasi ini tidak akan berhenti jika tidak segera diputus. Pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang tegas untuk menghapus kegiatan ospek, Osfak, dan Osjur yang berbau penindasan dalam bentuk apa pun. Waktu pelaksanaannya harus dibatasi hanya beberapa hari saja, tanpa memakan waktu hingga satu semester, enam bulan, atau bahkan satu tahun seperti program student day di beberapa institusi. Praktik kekerasan verbal, diskriminasi, eksploitasi, dan segregasi yang sering dilakukan dengan dalih "mendisiplinkan" harus dihentikan. Pendekatan berbasis ketakutan tidak boleh digunakan untuk menundukkan mahasiswa baru. Sebaliknya, pendidikan modern harus menanamkan nilai-nilai seperti rasa hormat, kerja sama, dan empati.
Selain menghapus praktik ospek yang menindas, penting juga untuk menanamkan pemahaman kepada semua pihak---baik mahasiswa senior maupun mahasiswa baru---bahwa penindasan dalam bentuk apa pun adalah tindakan yang salah dan tidak dapat dibenarkan. Upaya ini dapat dilakukan melalui pelatihan atau seminar pra-ospek yang mewajibkan panitia memahami etika dan prinsip humanis dalam membimbing mahasiswa baru. Kampus juga dapat mengintegrasikan program edukasi tentang dampak negatif kekerasan dan penindasan, baik secara fisik maupun psikologis. Hal ini bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa orientasi bukanlah arena untuk menunjukkan kekuasaan atau mendisiplinkan dengan cara intimidasi, melainkan waktu untuk menciptakan suasana inklusif, mendukung, dan membangun hubungan yang positif. Penanaman nilai-nilai tersebut perlu didukung dengan budaya dialogis di mana mahasiswa baru diberikan kesempatan untuk menyampaikan pengalaman mereka tanpa rasa takut. Kampus juga perlu menyediakan kanal pengaduan yang responsif dan memastikan adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi. Dengan demikian, setiap individu di lingkungan kampus dapat memahami bahwa ospek yang mengandung penindasan bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan dan tidak memiliki tempat dalam sistem pendidikan modern.