Lihat ke Halaman Asli

Ayu Hendranata

Master student in communication, Nasionalist, Social Media Influencer

Melukat dan Simbolisme Baru : Performa Spiritualitas Dalam Arus Global Konten Digital

Diperbarui: 12 April 2025   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Melukat Di Salah Satu Pura Jakarta (Sumber: Dokumen Pribadi Ayu Hendranata)


Melukat, ritual penyucian diri dalam tradisi Hindu Bali, kini tidak lagi hanya berlangsung di pelataran pura atau pancoran suci semata. Namun simbolisme spritual ini hadir dalam bentuk baru berupa konten konten yang Hadir di ruang digital baik berupa video slow motion di Instagram, vlog healing trip di YouTube, hingga thread reflektif di X (Twitter). Semuanya dibingkai dengan visual estetik dan narasi pencarian diri sehingga tradisi melukat kini hidup berdampingan dengan algoritma, likes, dan konten viral.

Namun di era ketika spiritualitas bisa dipotong menjadi 60 detik video, melukat menjadi semacam pernyataan: aku sedang mencari makna, dan aku ingin kamu melihatnya.Fenomena ini bukan sekadar tren wisata spiritual. Ia mencerminkan bagaimana praktik tradisional mengalami resemantisasi atau pemberian makna baru di tengah budaya digital global. Melukat kini tidak hanya berbicara soal kesucian, tapi juga menjadi simbol dari self-healing, identitas personal, bahkan strategi eksistensi sosial. Dalam dunia yang serba visual dan arus dromologi yang begitu cepat, spiritualitas pun ikut tampil, bahkan dipentaskan.

Jika dulu melukat adalah komunikasi dengan semesta, hari ini ia juga menjadi komunikasi dengan audiens: follower, penonton, dan algoritma. Inilah yang disebut sebagai performativity, istilah dari Erving Goffman yang menggambarkan bagaimana individu "memainkan" identitas mereka di hadapan publik. Dalam konteks ini, melukat mengalami simbolisme baru yaitu  spiritualitas yang tampil dan dapat ditonton oleh khalayak .

Ritual pembersihan ini kini bukan hanya sebagai alat pembersih jiwa, tetapi juga cermin digital: tempat di mana individu memantulkan siapa mereka, atau siapa yang ingin mereka tampilkan.

Tradisi yang dulu bersifat sakral dan sunyi kini berjalan beriringan dengan caption yang dikurasi dan soundtrack lo-fi yang menenangkan. Ia bergeser dari ruang spiritual menuju ruang visual, dari pengalaman personal menjadi pertunjukan kolektif.

Apakah ini hal buruk? Tergantung perspektif masing masing individu. Justru, ini bisa menjadi jembatan yang mempertemukan generasi muda dengan akar budayanya. Melalui media sosial, melukat menjadi narasi baru: tentang pencarian, penyembuhan, dan penyadaran. Tapi, kita juga perlu waspada, apakah kita sedang benar-benar menyelami esensi, atau hanya mengabadikan bentuknya?

Dalam dunia yang haus akan makna, melukat menawarkan oase: bukan sekadar menyucikan tubuh, tapi juga menata narasi diri dalam bingkai budaya digital.

Akhirnya, yang kita butuhkan bukan hanya visual yang indah, tetapi juga kesadaran kultural. Bahwa dalam setiap tetes air suci yang jatuh, ada nilai yang lahir dari ketenangan, bukan dari eksposure dan engagement . Melukat mungkin kini hadir dalam feed kita, tapi maknanya tetap bisa menembus lebih dalam selama kita tak lupa menyelami esensinya.

Salam bahagia

Ayu Hendranata

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline