Lihat ke Halaman Asli

Asep Sukarna

Freelancer

Kejujuran yang Berbohong, dan Berbohong untuk Kejujuran: Menyusuri Estetika Paradoks

Diperbarui: 12 Agustus 2025   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi by Oetoenk 

Ada saat-saat dalam kerja naratif di mana kejujuran terasa seperti pisau: tajam, bersih, dan memotong terlalu dalam. Kita diajarkan untuk jujur, untuk menyampaikan apa adanya, untuk tidak menyembunyikan. Tapi dalam ruang-ruang yang penuh luka, trauma, dan kerentanan, kejujuran yang mentah bisa menjadi kekerasan. Maka muncullah paradoks: berbohong demi menjaga keutuhan, demi memberi waktu pada kebenaran untuk tumbuh.

Di sinilah saya mulai memahami bahwa kejujuran bukanlah soal transparansi, melainkan soal tanggung jawab terhadap ritme batin orang lain. Bahwa kadang, menyembunyikan adalah bentuk kasih. Dan bahwa kebohongan yang sadar bisa menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam.

Jakob Sumardjo, dalam Estetika Paradoks, menulis:

"Segala sesuatu yang berada di dalam kehidupan ini terdiri atas pasangan-pasangan yang berbalikan... masing-masing pasangan itu memiliki nilai yakni nilai objektif-empirik dan nilai objektif-kesadaran."

Paradoks bukanlah cacat logika, melainkan cara hidup. Dalam budaya Nusantara, terang dan gelap tidak saling meniadakan, tapi saling melengkapi. Maka kejujuran dan kebohongan pun bukan musuh, melainkan pasangan yang saling menghidupi. Dalam kerja editorial, saya sering menjumpai narasi yang tidak bisa ditulis secara lurus. Ada luka yang belum siap dibuka, ada rasa bersalah yang belum selesai diproses. Dan saya belajar untuk tidak memaksa. Saya belajar untuk menunggu, untuk menyusun kata yang tidak sepenuhnya jujur secara fakta, tapi jujur secara emosi.

Jakob juga menulis:

"Seni bukan hanya pengetahuan tentang transenden, tetapi juga mengimani hadirnya yang transenden tersebut, yakni daya-daya (energi) transendennya."

Dalam konteks ini, kejujuran yang berbohong adalah bentuk iman terhadap nilai yang belum bisa diungkap secara literal. Kita tidak sedang memanipulasi, tapi sedang menjaga ruang agar nilai yang lebih dalam bisa tumbuh. Kita tidak sedang menipu, tapi sedang memberi waktu pada kebenaran untuk menemukan bentuknya sendiri.

Saya teringat satu sesi dengan seorang kontributor yang membawa kisah tentang kekerasan dalam rumah tangga. Ia ingin menulis, tapi setiap kali menyusun kalimat, tubuhnya gemetar. Ia berkata, "Kalau aku tulis semua, aku takut kehilangan diriku."

Maka kami menulis sebagian. Kami menyusun metafora. Kami menyembunyikan nama. Kami berbohong, tapi demi kejujuran yang lebih dalam: bahwa ia sedang berproses, bahwa ia belum selesai, dan bahwa itu pun sah untuk ditulis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline