Lihat ke Halaman Asli

Asep Sukarna

Freelancer

Bab 6 Malam yang Tidak Bertanya Lagi

Diperbarui: 19 Agustus 2025   05:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi by Oetoenk 

Baca juga Bab 5 :

https://www.kompasiana.com/asepsukarna5061/6893ce82ed64151d0173d546/judul-bab-5-menunggu-napas-sendiri

Langit Cilacap tidak bersuara malam itu. Tirai jendela kamar suite bergerak pelan, menyaring cahaya dari kota yang tak benar-benar sibuk, tapi menyimpan memo dalam beton dan suara genset. Suci duduk di ujung ranjang, mengenakan kemeja linen tipis---bukan karena ingin tampak santai, tapi karena tubuhnya sudah lelah menyimpan pertahanan. Raka berdiri di depan meja marmer, membolak-balik memo tahun 1996 yang kini terasa lebih ringan dari napasnya sendiri.

Di antara mereka, tidak ada piring, tidak ada wine. Hanya sisa kopi pahit di cangkir porselen, dan bau parfum kayu manis yang tak dipakai. Napas malam menyusup dari ventilasi, menyentuh ujung jari Suci yang menggantung pelan di sisi ranjang.

Raka: "Hotel ini masih sama sejak 1997. Tapi kamarnya terasa lebih... sepi."

Suci: "Bukan kamarnya. Mungkin kita yang makin berisik di dalam."

Ia berkata sambil mengikat rambutnya. Gerakan kecil, tapi Raka melihat garis punggungnya melewati lipatan kemeja---seperti peta tubuh yang pernah ia lupakan, lalu diam-diam dia cari lewat sungai, warung, dan suara amplifier pecah di studio Jatilawang.

Mereka belum sepenuhnya bicara sejak masuk kamar. Di lobi, mereka tertawa pelan soal resepsionis yang salah menyebut nama belakang Raka. Di koridor, Suci menyentuh tembok tua yang mengelupas, menyimpan warna abu-abu kehujanan. Tapi kini, di kamar dengan ranjang king-size dan lampu gantung yang menyala lembut, diam menjadi bagian tubuh mereka.

Suci: "Kalau kamu pulang ke Lembang besok, kamu pulang sebagai memo yang lebih ringan, atau lebih penuh?"

Raka tak langsung jawab. Ia membuka tirai, memandang cahaya kota yang remang. Tidak ada suara sungai. Tapi ia tahu, Serayu tetap mengalir di dada, seperti memo kerja yang tak pernah benar-benar selesai.

Raka: "Penuh. Tapi bukan berat. Rasanya seperti... lembar terakhir yang belum ditulis, tapi sudah tahu kalimat pertamanya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline