Lihat ke Halaman Asli

asep gunawan

Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

Kenapa Kasih Sayang Lebih Kuat dari Logika?

Diperbarui: 17 September 2025   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Kenapa Kasih Sayang Lebih Kuat dari Logika (Sumber: canva.com/dream-lab)

Ada kalanya kita merasa sudah begitu rasional. Semua keputusan dihitung dengan logika, ditimbang dengan akal sehat. Tapi anehnya, di titik tertentu, kasih sayang mampu membelokkan semua hitungan itu. Kita tetap memilih bertahan meski tahu akan lelah, kita tetap memaafkan meski jelas-jelas disakiti, kita tetap memberi meski tak ada balasan.

Bukankah kita juga pernah begitu. Seolah-olah kasih sayang punya hukum sendiri yang tak bisa dijelaskan dengan angka, rumus, atau teori. Ia mengikat, menggerakkan, bahkan membuat manusia melakukan hal-hal yang bagi logika terlihat mustahil.

Inilah paradoks yang akan kita renungkan, mengapa kasih sayang sering kali lebih kuat daripada logika dan apa maknanya bagi hidup kita sebagai manusia yang rapuh sekaligus penuh pertimbangan rasa.

Kenyataannya, fenomena ini hadir di sekitar kita setiap hari. Ada orang tua yang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kesehatan demi masa depan anak-anaknya meski logika ekonomi sering bilang itu rugi. Ada relawan yang tetap turun ke lokasi bencana tanpa memikirkan risiko, padahal akal sehat menyarankan untuk menjaga jarak aman. Ada pula sahabat yang tetap menemani dalam kesulitan, meski tidak ada balasan selain rasa lelah. Semua itu menunjukkan bagaimana kasih sayang mampu menembus batas logika.

Suatu malam saya bertemu seorang teman perawat di ruang gawat darurat. Giliran jam kerjanya sebenarnya sudah selesai. Perawat tersebut menunda untuk pulang karena seorang anak yang baru mengalami kecelakaan menggenggam jarinya erat. Ia hanya berkata pelan bahwa kadang yang benar-benar menenangkan bukan obat, melainkan sekadar merasa ada yang menemani.

Dalam hitungan logika ia seharusnya beristirahat. Namun ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya daripada jadwal dan jam kerja, yakni keinginan sederhana agar seorang anak tidak merasa sendirian pada malam yang paling menakutkan.

Saya juga teringat seorang ayah yang setiap malam membaca buku untuk anaknya, meski pulang dalam keadaan letih. Gajinya tidak bertambah karena kebiasaan itu, kariernya tidak melonjak gara-gara membacakan dongeng. Namun anak itu tumbuh dengan rasa aman yang sulit diukur. Di situ saya belajar, kasih sayang memberi makna pada hal-hal yang di mata logika terlihat tidak efisien.

Kita hidup pada zaman yang memuja target dan efisiensi. Layar HP kita penuh angka, presentasi berisi grafik, rapat selalu dimaknai dengan kata-kata kinerja. Semua penting, semua berguna. Hanya saja ada bagian dari hidup yang tidak pernah tercatat dalam laporan, yaitu detik-detik ketika manusia memilih berbelas kasih. Keputusan berbelas kasih sering dianggap tidak rasional, padahal justru keputusan seperti itulah yang menjaga hati masyarakat tetap hangat dan saling merengkuh. Tanpa kasih, aturan menjadi kaku. Tanpa kasih, logika berubah menjadi pagar yang terlalu sempit untuk manusia yang ingin saling terhubung.

Filsuf Yunani Plato pernah menulis bahwa cinta adalah kerinduan pada keutuhan. Sementara Jalaluddin Rumi, penyair sufi dan teolog asal Persia, menulis bahwa kasih adalah jembatan antara dirimu dan segala sesuatu. Makna kutipan itu terasa nyata ketika kita melihat orang-orang yang saling menolong dalam banjir, kebakaran, atau gempa. Mereka datang dengan tangan kosong, membawa keberanian dan empati. Jembatan yang dimaksud memang tidak terlihat oleh mata, tetapi terasa di dalam tubuh. Seseorang menjadi bagian dari yang lain, dan itulah yang membuat tindakan mereka tampak melampaui perhitungan biasa.

Pada titik ini wajar bila kita bertanya, apakah kasih sayang tidak berisiko. Tentu saja ada risiko, sebab mencintai berarti membuka luka yang dalam. Namun risiko bukan alasan untuk mengerdilkan kasih sayang. Justru di sana letak keberanian manusia, memilih tetap peduli meski tidak ada jaminan adanya balasan. Mungkin itulah sebabnya kasih sayang sering menang dari logika, karena ia bergerak dengan bahasa keberanian dan kepercayaan, bukan hanya dengan ketepatan hitungan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline