Lihat ke Halaman Asli

asep gunawan

Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

Semua Orang Disuruh Marah, Tapi Isu Utamanya Bukan DPR

Diperbarui: 3 September 2025   10:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Marah (Sumber: canva.com/dream-lab)

(Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis, disusun dari tafsir dan refleksi terhadap isu publik yang berkembang. Tidak mewakili pandangan institusi atau pihak mana pun).

Kita terkadang lalai dan sering tanpa sadar menyaksikan pola pengalihan isu yang berulang. Sebuah potongan video menyebar, sebuah kalimat salah kutip, lalu emosi publik tersulut, nitizen bersuara dan linimasa pun mendidih. Namun justru pada saat itulah isu yang paling penting lolos dari perhatian. Marah itu wajar, tetapi sering kali arah kemarahan salah sasaran atau bahkan sengaja digiring ke isu lain.

Sejak beberapa pekan terakhir, suasana politik penuh kegaduhan dan masyarakat ramai-ramai "mengutuk" DPR. Ada yang membandingkan penghasilan wakil rakyat dengan dapur rakyat, ada yang menggunting slip tunjangan perumahan menjadi amunisi.

Saya tidak membela kekeliruan anggota DPR. Tetapi saya terganggu ketika amarah kita hanya dipinjam untuk menutup persoalan yang lebih menentukan arah republik ini. Isu itu adalah pemakzulan yang membayang, logika dinasti politik, dan kegagalan lama yang belum selesai di akar seperti agraria, lingkungan, dan ketimpangan.

Mengapa Marah Bisa Dialihkan?

Apakah ini berarti isu DPR tidak penting? Tentu tetap penting, namun jangan sampai perhatian kita berhenti di sana. Transparansi dan akuntabilitas wakil rakyat wajib diperjuangkan. Namun jika kita menempatkan DPR sebagai pusat dari segala kerusakan, kita bisa kehilangan kemampuan membaca skenario.

Yang lebih berbahaya bukan sekadar salah ucap atau salah hitung. Yang jauh lebih genting adalah orkestrasi emosi, yaitu ketika amarah yang otentik diarahkan untuk kepentingan segelintir orang yang sedang berutang masalah pada publik.

Dinasti dan Arah Kekuasaan

Sejak memasuki periode politik pasca pemilu, kita bisa melihat pola ini makin jelas. Mari kita telusuri lebih dalam agar lebih mudah dipahami.

Mereka yang tersingkir dari pusat kekuasaan butuh panggung. Mereka tahu bahan bakar murah selalu tersedia, yaitu kekecewaan publik terhadap elit. Gejala yang nyata, yakni kemarahan terhadap perilaku sebagian anggota DPR, kemudian diangkat menjadi cerita utama.

Kita sibuk menyalurkan amarah melalui aksi simbolik seperti mengetuk panci dan menulis status di media sosial. Sementara itu panggung lain disusun dengan wacana pemakzulan yang mengganjal, ijazah yang dipertanyakan, dan bayang-bayang dinasti yang tetap berjalan. Dalam logika ini, marah bukan lagi hak warga, melainkan alat politik.

Persoalan Tanah dan Agraria

Di sini kita perlu bertanya. Siapa yang diuntungkan ketika kita memusatkan energi pada DPR saja? Apakah itu otomatis memperbaiki desain kekuasaan? Atau justru mempersempit pandangan kita agar tidak mempersoalkan pintu masuk problem utama, yaitu bagaimana kekuasaan diturunkan, dinegosiasikan, dan dipertahankan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline