Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Rakyat Telah Patah Hati

Diperbarui: 2 September 2025   19:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rakyat adalah denyut nadi bangsa. Bekerja di sawah, di pelabuhan, di pabrik, di jalanan kota, berpeluh keringat. Hidup dalam budaya kebersamaan, berbagi dalam kesahajaan, merawat harmoni agar kehidupan tetap dinamis. Dalam kerangka antropologi, rakyat bukan sekadar individu, melainkan komunitas yang hidup dalam jejaring makna, memiliki simbol, ritual, dan tradisi menjaga keberlangsungan hidup. Namun ketika simbol itu dikhianati oleh para wakil rakyat di tengah krisis, maka luka yang muncul bukan hanya ekonomi dan politik, melainkan kultural. Itulah yang disebut patah hati rakyat dalam peradaban demokrasi.

Luka kolektif yang menular

Patah hati rakyat bukanlah sekadar perasaan pribadi, melainkan sebuah fenomena kolektif. Dalam antropologi, ada konsep "emosi bersama" (collective emotion) seperti ditulis Christian von Scheve dan Mikko Salmela (2014) dalam buku Collective Emotions dengan domain kemarahan bersama dan patah hati kolektif. Ketika rakyat melihat ketimpangan, para pejabat hedonis, sementara rakyat menghitung recehan, rasa sakit itu dirasakan bersama. Ia menular, menjelma narasi di warung kopi, warteg, di kolong jembatan hingga obrolan tetangga, dan emak-emak sampai teriakan demonstrasi. Budaya tutur rakyat menjadi alat perlawanan, sindiran, pantun, mural, hingga meme di media sosial adalah ekspresi simbolik dari patah hati itu.

Indonesia baru saja menyaksikan gelombang protes akhir Agustus 2025 dalam suasana masih hari kemerdekaan. Penyebabnya, kontrak moral yang runtuh kepada parlemen dan negara, sehingga ribuan mahasiswa, ojol, buruh, dan warga berdifusi ke jalan, menolak keras ucapan sarkas 'tolol sedunia', aksi joget yang nyentrik tetapi egosentris (narcissistic display), namun abai pada konteks derita rakyat. Itu ritual inversi parlemen yang seharusnya sakral, justru dipakai untuk pementasan diri. Semua itu penyakit simbolik dan sosial berupa narsisme politik, kebutaan budaya, infantilisme politik, dan alienasi dari rakyat. Pun, rakyat menolak dan mengutuk lompatan tunjangan DPR yang membumbung hingga ratusan juta rupiah per bulan. Rasio gaji wakil rakyat dibanding buruh mencapai 27:1.

Dari perspektif antropologi, ketidakadilan semacam ini merusak kontrak moral yang menjadi tonggak legitimasi politik. Demokrasi bukan hanya prosedur pemilu, tetapi juga hubungan simbolis, rakyat memberi mandat, wakil memberi keadilan. Saat mandat dibalas dengan privilese, simbol itu runtuh.

Api dan taman perlawanan

Antropologi mengajarkan ruang dan simbol selalu menjadi bagian dari ekspresi politik rakyat, termasuk ruang hati. Dalam budaya, hati adalah pusat rasa, hati terbalut otomatis dalam budaya Nusantara, bukan hanya organ biologis. Patah hati rakyat dimaknai putusnya relasi emosional rakyat dan wakilnya. Dalam banyak tradisi Nusantara, janji adalah ikatan sakral. Wakil rakyat ketika bersumpah jabatan sesungguhnya masuk dalam kontrak budaya dengan rakyat. Ketika sumpah itu diingkari, maka rakyat merasakan pengkhianatan bukan hanya politik, tetapi juga moral dan spiritual.

Solidaritas yang menyala

Patah hati ini memunculkan solidaritas baru. Buruh, mahasiswa, pedagang kecil, hingga ojek daring menemukan kemiripan nasib. Antropologi menyebut ini sebagai komunitas imajiner, sebuah ikatan sosial yang lahir dari rasa senasib sepenanggungan, meski mereka berbeda latar budaya. Demonstrasi bukan hanya protes politik, melainkan juga ritual sosial, orang berkumpul, mengibarkan spanduk. Semua itu adalah bahasa budaya yang menyampaikan pesan: "Kami bersama, kami tidak rela." Paradigma ini telah mengorbitkan wakil rakyat yang kelewat buta bahasa rakyat.

Para elit sering kali buta budaya. Hidup dalam ruang yang steril, dipusari pagar tinggi dan protokol, lupa semiotika rakyat, lupa simbol sederhana seperti antre membeli beras, menghitung kembalian di warung, atau menunggu antrian di puskesmas. Mereka tidak lagi menyelami budaya kita, pemimpin dihormati bukan karena hartanya, melainkan karena kesederhanaan dan kesetiaannya kepada rakyat.

Ritual kosong kekuasaan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline