Lihat ke Halaman Asli

Aris Heru Utomo

TERVERIFIKASI

Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Masjid Merah Panjunan dan Wujud Akulturasi Budaya

Diperbarui: 28 Agustus 2016   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masjidd Merah Panjunan / foto oleh Aris Heru Utomo

"Jauh-jauh ke Cirebon kok kita malah diajak ke masjid kecil seperti ini sich”, gerutu seorang teman ketika siang itu kami, rombongan alumni SMP 95 Jakarta yang sedang berhalal bihalal ke luar kota, tiba di sebuah masjid berpagar merah bata di kawasan Panjunan Cirebon untuk menunaikan sholat dhuhur.

“Tempat wudhunya pun tidak dipisahkan antara pria dan wanita, kita kan jadi susah untuk berwudu”, gerutunya lagi, seolah gerutuannya ingin didengar oleh teman-teman yang lain. Sementara teman-teman yang lain hanya senyum-senyum saja.

Saya yang mengajak teman-teman mampir ke masjid ini pun kemudian memberikan sedikit penjelasan, meski kecil dan sederhana, tapi masjid merah ini merupakan masjid bersejarah yang didirikan pada tahun 1480 dan menjadi salah satu saksi perkembangan Islam di Cirebon. Masjid ini menjadi saksi dari kegiatan para Wali Songo (Sembilan Wali), penyebar Islam di Jawa, dalam mengkoordinasikan dalam menyiarkan Agama Islam di daerah Cirebon dan sekitarnya

Dalam kesempatan terpisah, teman saya yang lain, yang dikenal memiliki kemampuan supra natural, juga ikut menjelaskan bahwa masjid merah ini, meski terlihat kecil tapi didirikan oleh salah seorang murid Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Songo. Karenanya Insya Allah masjid ini penuh kemuliaan dan keberkahan.

Disebut sebagai Masjid Merah atau lengkapnya Masjid Merah Panjunan karena memang bangunan masjid ini didominasi warna merah, mulai dari pagar bata merah setinggi 1,5 m yang mengelilinginya hingga dinding dalam masjid dan terletak di Kampung Panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Cirebon. Menurut sejarahnya, Masjid Merah Panjunan didirikan oleh Pangeran Panjunan atau Maulana Abdul Rahman, seorang imigran Arab dari Baghdad. Di tempat ini Pangeran Panjunan dan keluarganya mencari nafkah dengan membuat keramik.

Seperti komentar teman saya di atas, bangunan masjid ini memang relatif kecil, hanya berukuran 40 meter persegi. Masjid Merah Panjunan termasuk bangunan ukuran kecil dengan jarak antara lantai dan atap yang rendah seperti rumah-rumah tua di Jawa. Hal ini dapat dimaklumi karena menurut sejarahnya bangunan masjid ini memang semula adalah sebuah mushola yang diberi nama Al-Athyah, dan dikembangkan menjadi berukuran 150 meter persegi saat menjadi masjid. Kondisi Masjid Merah Panjunan ini masih asli seperti awal berdiri, perubahan terjadi hanya pada tempat wudhu tanpa mengubah bentuk asli bangunan masjid.

Memasuki Masjid Merah Panjunanm pengunjung langsung disambut gerbang masjid yang terlihat seperti pura. Setelah itu tampak bangunan Masjid menyerupai pendopo Jawa yang ditopang oleh 17 tiang kayu pohon yang kokoh yang melambangkan 17 rakaat dalam salat. Empat dari 17 tiang penyangga itu merupakan penyangga utama, ucapnya, sebagai simbol empat imam dalam hukum atau syariat Islam. Mereka adalah Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi'i, dan Imam Hanafi.

Atapnya tidak terbuat dari genting melainkan potongan-potongan kayu yang tersusun rapih. Di dinding masjid tampak tertempel ornamen-ornamen cantik berupa piring keramik Tiongkok yang masih dijaga keasliannya. Sementara itu unsur budaya Islam terlihat dari fisik dan fungsi masjid antara lain dari tiang penopang masjid berbentuk bintang dengan delapan bunga yang melambangkan delapan lafal selawat yang diajarkan Rasullulah. Hal itu membuktikan adanya pengaruh arsitektur Arab pada masjid itu. Sedangkan unsur Hindu terdapat pada gerbang dan tembok masjid.

Ruangan di bawah pendopo masjid dibagi dua dengan pembatas tembok tebal setinggi 2 meter. Di tengah pembatas tembok ini terdapat sebuah pintu menuju ke sebuah ruangan yang konon hanya dibuka pada hari-hari tertentu, misalnya pada bulan Ramadhan. Menurut warga penunggu masjid, di ruangan sebelah itu terdapat sebuah makam yang diberi pagar, tetapi tidak jelas makam siapa. Ada yang mengatakan seorang yang cukup disegani di daerah Pajunan, sementara versi lain mengatakan, yang dikuburkan di tempat itu adalah benda-benda yang pernah dipakai untuk membangun masjid.

Khusus keramik yang menempel di dinding banyak orang yang bertanya-tanya kenapa di dinding masjid dihiasi keramik Tiongkok? Konon keramik Tiongkok itu merupakan bagian dari hadiah kaisar China ketika Sunan Gunung Jati menikahi putri sang kaisar yang bernama Tan Hong Tien Nio. Adanya hubungan dengan Tiongkok sejak zaman Wali Songo itu juga ditunjukkan dengan keberadaan Vihara Dewi Welas Asih, sebuah wihara kuno dengan dominasi warna merah yang berdiri tak jauh dari masjid.

Eratnya perpaduan budaya Islam, Tiongkok dan Hindu serta budaya setempat pada arsitektur Masjid Merah Panjunan, memperlihatkan bahwa pada masa ketika masjid didirikan telah ada perpaduan antara budaya Arab dan Tiongkok serta budaya setempat. Perpaduan budaya Arab dan Tiongkok serta budaya setempat dalam arsitektur masjid ini tak lain terjadi karena Cirebon, yang pernah bernama Caruban pada masa silam, adalah kota pelabuhan. Lantaran lokasi masjid itu di kawasan perdagangan, tidak mengherankan jika Masjid Merah Panjunan tumbuh dengan berbagai pengaruh, seperti juga semua keraton yang ada di Cirebon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline