Lihat ke Halaman Asli

Areli

anak SMA

Gemaung: Suara yang Tak Pernah Selesai

Diperbarui: 6 Agustus 2025   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Gemaung Doa di Tempat Ibadah (Sumber:https://www.nytimes.com/2025/02/23/world/asia/mass-pope-francis-prayers-photos.html)

Gemaung adalah suara yang tidak hanya memenuhi ruang, tetapi juga menyentuh batin. Ketika stadion penuh sesak oleh sorakan penonton, suara-suara itu tak sekadar terdengar, melainkan menggema, menelusup ke dada dan menyisakan getaran yang sulit dijelaskan. Dalam bahasa Indonesia, gemaung menggambarkan suara yang memantul, menyebar luas, dan meninggalkan kesan emosional. Ia bisa datang dari petir yang menggema di langit malam, dari lantunan lagu yang terus terngiang, atau dari panggilan yang pernah terdengar di masa lalu. Bahkan dalam sejarah, gemaung suara perjuangan rakyat tidak benar-benar pernah lenyap. Semangat yang terlahir dari teriakan-teriakan masa lalu itu tetap hidup dan bergema di hati generasi penerus. Gemaung tidak sekadar persoalan bunyi yang kembali terdengar, melainkan juga tentang makna yang berlapis dan tak kunjung habis.

Suatu malam yang sunyi, aku duduk sendiri di kamar, hanya ditemani detak jam di dinding. Di tengah keheningan yang nyaris utuh itu, tiba-tiba terdengar gemaung tawa dari masa lalu. Bukan suara nyata yang bisa direkam oleh telinga, melainkan gema yang datang dari dalam kepala, dari ingatan yang belum sepenuhnya pudar. Aku tahu itu hanyalah bayangan, namun kenyataannya begitu jelas, seolah ada sesuatu yang belum sempat disampaikan. Saat itulah aku menyadari bahwa gemaung bukan hanya milik dunia luar. Ia hidup juga dalam pikiran dan perasaan manusia. Dalam karya sastra, gemaung kerap hadir sebagai simbol dari luka, kenangan, cinta, atau kehilangan. Ia menjadi wujud dari sesuatu yang sudah berlalu namun masih terasa sangat dekat. Gemaung membuat apa yang telah tiada seakan tetap tinggal bersama kita.

Di tengah dunia yang semakin ramai, justru gemaung dari suara-suara penting sering kali terabaikan. Seruan tentang keadilan, panggilan hati nurani, atau jeritan alam sering tenggelam dalam kebisingan. Padahal gemaung menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar suara yang keras. Ia membawa pesan yang kembali kepada kita setelah melalui ruang dan waktu. Ketika seseorang berteriak di ruang kosong, gema itu kembali, tapi bukan hanya sebagai suara, melainkan sebagai makna yang telah diolah oleh perjalanan. Mungkin kelak, yang akan tinggal dari diri kita bukanlah kata-kata yang langsung terdengar, melainkan gemaung dari tindakan, pesan, dan warisan yang pernah kita bagi. Selama gemaung itu masih hidup di benak dan hati orang lain, maka keberadaan kita belum benar-benar berakhir. Seperti gema yang tak henti memantul, gemaung akan terus mengisi ruang dan menjadi pengingat bahwa setiap suara, setiap perbuatan, bisa hidup jauh melampaui waktu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline