Lonjakan tuntutan pemekaran daerah di seluruh Indonesia belakangan ini sangat mengkhawatirkan. Hingga April 2025, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dibanjiri 341 proposal: 42 usulan provinsi baru, 252 kabupaten baru, 36 kota baru, serta yang lebih mengenaskan, enam permintaan status 'Daerah Istimewa' dan lima 'Daerah Khusus'.
Kegilaan ini terus berlanjut meskipun ada moratorium nasional sejak 2014 (yang hanya dicabut sebentar untuk Papua pada tahun 2022). Di tengah hiruk-pikuk ini, usulan untuk memisahkan Surakarta (Solo) dan wilayah sekitarnya (Solo Raya) dari Jawa Tengah untuk membentuk 'Daerah Istimewa Surakarta' (DIS) menjadi sorotan, bukan karena kebaikannya, tetapi karena potensi kerusakan yang muncul.
Para pendukung usulan ini hanya samar-samar menunjuk pada sejarah, mengutip periode singkat pasca-kemerdekaan yang secara hukum meragukan. Namun, nostalgia historis ini runtuh di hadapan realitas yang dihadapi Solo saat ini. Kota ini jauh dari daerah terpencil yang membutuhkan intervensi khusus.
Pada tahun 2023, ekonomi Solo tumbuh cukup baik sebesar 5,57%, sedikit melampaui rata-rata nasional 5,05%. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Solo melonjak menjadi sekitar Rp114,8 juta, lebih dari dua kali lipat PDRB per kapita provinsi yang konon ingin ditirunya, DI Yogyakarta (Rp51,47 juta). Solo memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 'sangat tinggi' sebesar 83,54, lagi-lagi secara signifikan lebih tinggi dari rata-rata nasional (74,39) dan Jawa Tengah (73,39).
Seperti yang dipertanyakan dengan tepat oleh Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, dengan Solo yang sudah menjadi pusat perdagangan, pendidikan, dan industri yang dinamis, "Apa lagi yang perlu diistimewakan?".
Tingkat kemiskinan kota Solo pada tahun 2023, meskipun perlu perhatian di angka 8,44%, secara nyata lebih rendah dibandingkan DI Yogyakarta sebesar 10,83% (Maret 2024) dan Jawa Tengah sebesar 9,58% (September 2024).
Dorongan untuk membentuk DIS, yang tidak memiliki pembenaran sosial-ekonomi yang kuat dan muncul di tengah perebutan pembagian administratif secara nasional, lebih berbau ambisi politik elite daripada kebutuhan nyata untuk meningkatkan tata kelola atau kesejahteraan publik bagi warga Solo. Ini adalah solusi yang mencari-cari masalah, mengancam mengganggu wilayah yang berfungsi baik demi keuntungan yang dipertanyakan.
Studi Kasus Kegagalan pada DI Yogyakarta
Gagasan untuk mencontoh Solo dari Yogyakarta sangatlah keliru karena 'status istimewa' Yogyakarta, yang dikodifikasikan dalam UU No. 13 Tahun 2012, mewakili model pemerintahan yang penuh dengan kegagalan demokrasi dan kekecewaan sosial-ekonomi.
Cacat paling mencolok adalah tidak adanya akuntabilitas demokratis sama sekali di tingkat eksekutif. Gubernur merupakan Sultan yang berkuasa secara turun-temurun, sedangkan Wakil Gubernur adalah Pangeran Paku Alam yang ditunjuk melalui penetapan, bukan dipilih oleh rakyat. Hal ini secara langsung melanggar Pasal 18 Ayat 4 UUD RI 1945, yang secara tegas menyatakan kepala daerah harus "dipilih secara demokratis", termasuk Gubernur, Bupati, dan Walikota.