Lihat ke Halaman Asli

Tiga Senandung di Malam Sabtu

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13682032941783684440

(1)

Pernah aku mendoa, doa yang kuulang lagi dan lagi:

“Jika rasaku ini terarah pada seorang yang bukan untukku dirinya ditakdirkan; kumohon, Tuhan... jangan Kau tambahkan... Namun tambahkanlah, jika memang untuknya diriku Engkau takdirkan”

Rasa itu oleh kebanyakan orang disebut cinta, dan aku lebih memilih kata rindu sebagai wakilnya. Sebagaimana sering kuumumkan;

“Telah banyak kutulis sajak tentang rindu. Bukan sebab ku mencinta rindu, namun sebab ku merindu cinta. Dan, bagiku cinta adalah kamu. Ya, aku merindumu.”

(2)

Mungkin dulu, sebelum beberapa bulan lalu, kalimat-kalimat di atas tak lebih dari keisengan seorang Aku merangkai kata. Tak benar-benar jelas pada siapa kalimat-kalimat itu ia tujukan. Hatinya terbagi bukan pada dua tiga orang; lebih dari itu.

Satu per satu pupus, terhapus. Entah menghilang atau memang dihilangkan dari bayangan. Pada akhirnya hanya satu nama tersisa. Dan itu namamu.

Aku mencintaimu... emh, bukan... mungkin Aku mencintaimu.

Ah!!!

“Bagi seorang Aku, cinta dan kagum adalah sesuatu yang masih kabur. Benarkah yang dirasanya adalah cinta atau kagum semata?

Yang ia tahu -setidaknya saat ini-, cinta adalah ketika hati merasa sakit memikirkan yang menurutnya ia cinta. Sakit yang benar-benar ia nikmati. Meski sesekali, air mata mengalir begitu saja dan tiba-tiba ditutupnya dengan tawa atau tersenyum pada wajahnya di cermin. Mengharap temu pada yang ia ingin.”

[caption id="attachment_242753" align="aligncenter" width="499" caption="hati ini seperti malam, memeluk matahari dengan selimut raksasa: memeluk namamu dengan secarik cinta."][/caption]

(3)

Rasa yang (mungkin) bernama cinta ini mungkin bukan rasa yang seharusnya kutumbuhkan. Ya, bisa jadi ini adalah rasa yang salah alamat. Tapi jika itu benar adanya, maka satu-satunya orang yang bersalah adalah diriku sendiri. Aku membiarkan rasa itu tumbuh. Bukan sekadar tumbuh, sebab rasa-rasanya si rasa telah juga mengakar kuat. Akarnya mencengkeram jauh ke dasar hati. Sakit sekali.

Tapi jika adalah suatu kebaikan, alangkah baiknya dirimu yang telah membawaku pada kebaikan ini. Sebab, mengutip perkataan seorang teman:

“Aku mencintaimu bukan karena adanya kamu, tapi bagaimana aku ketika bersamamu”

***

Hanya untukmu, yang menjadikan Sabtuku istimewa. Lagi dan lagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline