Seribu Sehari, Solidaritas atau Beban Baru bagi Warga?
“Kedermawanan sejati lahir dari kebijakan yang adil, bukan dari keharusan yang samar.”
Oleh Karnita
Ketika Gotong Royong Diuji di Tengah Keterbatasan
Apakah gotong royong masih bermakna ketika tangan rakyat kembali diminta menolong sesama di tengah beban pajak dan harga hidup yang kian naik? Pertanyaan ini mengemuka ketika Republika.co.id pada Sabtu, 4 Oktober 2025, memberitakan kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengeluarkan surat edaran donasi Rp1.000 per hari. Surat edaran bernomor 149/PMD.03.04/KESRA ini mengajak ASN, pelajar, dan warga untuk berpartisipasi dalam gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) atau “gotong royong sehari seribu.”
Kebijakan ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian menilai inisiatif tersebut sebagai bentuk solidaritas sosial yang patut diapresiasi, sementara sebagian lain merasa bahwa tanggung jawab utama membantu warga miskin seharusnya tetap berada di tangan pemerintah. Ketegangan pandangan ini menjadi relevan dalam konteks kesejahteraan sosial yang terus diuji, terutama di tengah data BPS Jawa Barat (Maret 2025) yang mencatat 3,65 juta penduduk masih hidup dalam kemiskinan.
Penulis tertarik membahas isu ini bukan semata karena nominal seribu rupiahnya, melainkan karena nilai di baliknya: antara solidaritas dan tanggung jawab negara. Dalam ruang publik, kebijakan yang bersentuhan dengan uang rakyat sekecil apa pun perlu dibaca dengan lensa etika dan keadilan sosial. Bagaimana sesungguhnya program ini dimaknai, dan apa refleksi yang bisa diambil untuk kebijakan publik di masa depan?
Dari Gerakan Sosial ke Kewajiban Moral
Program Rereongan Poe Ibu diklaim berlandaskan nilai-nilai luhur budaya Sunda—silih asah, silih asih, silih asuh. Semangat itu sejatinya menumbuhkan kembali akar solidaritas sosial yang mulai luntur di era serba individualistik. Namun, ketika imbauan tersebut dituangkan dalam surat edaran resmi pemerintah, batas antara sukarela dan kewajiban moral menjadi kabur.
Masyarakat, terutama ASN dan siswa, dapat merasa terdorong bukan karena semangat gotong royong, tetapi karena tekanan sosial dan administratif. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis: apakah kebaikan yang lahir dari rasa “terpaksa” masih dapat disebut kesetiakawanan? Dalam konteks kebijakan publik, penting memastikan bahwa partisipasi sosial tidak berubah menjadi beban terselubung.