Mohon tunggu...
Noora Haidar Bawazier
Noora Haidar Bawazier Mohon Tunggu... Mahasiswa

Fakultas Ilmu Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahasa Beda Tapi Tetap Nyambung? Thank You Interpreter!

7 Oktober 2025   02:06 Diperbarui: 7 Oktober 2025   02:06 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernah lihat orang bicara dalam bahasa asing, lalu berhenti sejenak, dan seorang penerjemah langsung mengulanginya dalam bahasa kita? Nah, itu namanya consecutive interpreting. Singkatnya, penerjemah menunggu pembicara selesai dulu baru menyampaikan pesannya. Dalam proses ini, interpreter biasanya mencatat poin-poin penting supaya tidak ada bagian yang terlewat, lalu menyampaikannya dengan cara yang jelas sambil tetap menjaga makna aslinya. Jadi, tugas mereka bukan cuma menerjemahkan kata demi kata, tapi juga memastikan pesan tetap nyambung dan mudah dipahami pendengar lintas budaya. Di balik proses yang tampak sederhana itu, sebenarnya ada tanggung jawab besar untuk menyeimbangkan dua dunia bahasa dan budaya yang berbeda. Seorang interpreter bukan hanya mengulang kalimat, tapi juga ikut memindahkan konteks, emosi, dan cara pandang agar komunikasi terasa utuh, alami, dan saling menghormati. Bahkan dalam acara internasional seperti sidang PBB atau pertemuan G20, peran interpreter sangat vital. Kesalahan kecil dalam penafsiran bisa berakibat besar terhadap hubungan diplomatik antarnegara. Misalnya, salah menerjemahkan istilah "concern" menjadi "complaint" bisa membuat satu pernyataan terdengar jauh lebih keras dari maksud aslinya.

Komunikasi lintas budaya sendiri adalah proses ketika orang dari latar belakang berbeda saling bertukar pesan dan berusaha memahami satu sama lain. Tantangannya, setiap budaya punya aturan komunikasi yang tidak tertulis. Ada budaya yang suka bicara langsung dan tegas, tapi ada juga yang lebih memilih berbicara secara halus dan berputar demi menjaga keharmonisan. Bahkan hal kecil seperti kontak mata pun bisa punya arti berbeda. Di satu negara dianggap tanda percaya diri, tapi di negara lain bisa dibilang tidak sopan. Kadang, perbedaan sekecil itu bisa mempengaruhi cara seseorang menafsirkan pesan dan membentuk kesan yang salah. Karena itu, memahami budaya bukan sekadar pelengkap, tapi bagian inti dari komunikasi yang efektif. Di sinilah peran interpreter menjadi krusial, karena mereka tidak hanya menyalurkan pesan, tapi juga membantu menjaga makna budaya agar tidak hilang di tengah perjalanan kata. Contohnya bisa dilihat saat interpreter bekerja di bidang kesehatan atau hukum. Dalam konsultasi dokter dan pasien lintas negara, mereka harus tahu bahwa di beberapa budaya, pasien enggan menatap mata dokter sebagai tanda hormat, bukan karena menyembunyikan sesuatu. Pengetahuan budaya seperti ini membantu pesan tersampaikan dengan benar tanpa menimbulkan kesalahpahaman.

Metode consecutive interpreting biasanya digunakan di situasi penting seperti rapat resmi, wawancara, sidang, atau konferensi internasional. Tanpa bantuan seorang interpreter, salah paham bisa dengan mudah terjadi. Hal itu bisa muncul dari hal sederhana seperti perbedaan ungkapan, gaya bicara, atau nada suara yang membawa makna berbeda di tiap budaya. Di titik inilah consecutive interpreting punya peran besar sebagai penghubung. Tugasnya bukan hanya menerjemahkan kata, tapi juga memastikan pesan, emosi, dan nilai budaya tersampaikan dengan utuh kepada pendengar dari berbagai latar belakang. Dalam konteks global yang semakin cepat, kemampuan seperti ini menjadi kunci agar kerja sama antarnegara berjalan lancar. Banyak keputusan besar dan diplomasi antarbangsa bergantung pada kemampuan interpreter dalam menjaga kejelasan dan harmoni komunikasi.

Sebelum mulai menerjemahkan, seorang interpreter biasanya tidak hanya duduk diam menunggu giliran bicara. Mereka mencari tahu konteks acara, siapa pembicaranya, dan latar budaya dari orang-orang yang terlibat. Tujuannya agar saat menerjemahkan nanti, maknanya tetap nyambung dan tidak salah tafsir. Dalam banyak kasus, interpreter juga berperan sebagai penjembatan budaya yang membantu audiens memahami maksud di balik cara bicara, ekspresi, atau bahkan isyarat tubuh pembicara. Menurut Academy Publication (2024) dalam artikel "Navigating the Gray Zone: When Interpreters Become Mediators and Communication Facilitators," seorang interpreter tidak hanya menyampaikan bahasa, tapi juga berfungsi sebagai mediator sosial yang menafsirkan konteks dan ekspresi nonverbal agar komunikasi tetap harmonis. Bayangkan interpreter dalam negosiasi bisnis antara perusahaan Jepang dan Amerika. Di budaya Jepang, keheningan berarti berpikir, sedangkan bagi orang Amerika bisa diartikan sebagai ragu. Seorang interpreter yang peka tahu bahwa keheningan itu tidak perlu diisi dengan kata-kata tambahan, melainkan cukup memberi waktu.

Dalam praktiknya, ada banyak tantangan dalam komunikasi lintas budaya saat melakukan consecutive interpreting. Perbedaan ekspresi seperti idiom, metafora, atau humor seringkali sulit diterjemahkan dengan makna yang sama. Bahasa tubuh juga dapat menjadi tantangan karena gestur atau ekspresi tertentu punya arti berbeda di setiap budaya. Selain itu, interpreter perlu berhati-hati agar tidak membawa stereotip atau bias pribadi terhadap budaya tertentu. Tekanan situasi juga tinggi, terutama dalam konteks diplomatik atau negosiasi penting. Inilah yang membedakan mereka dari mesin penerjemah: kehadiran rasa, intuisi, dan empati manusia dalam setiap kata yang diucapkan. Sebagai contoh, dalam sebuah konferensi internasional, interpreter sering harus menerjemahkan humor lokal dari pembicara. Mereka tidak bisa menerjemahkan kata per kata, tapi harus menggantinya dengan humor yang maknanya setara agar audiens tetap paham konteks emosionalnya.

Consecutive interpreting memang terdengar sederhana, hanya mendengar lalu menerjemahkan. Tapi ketika konteksnya lintas budaya, tantangannya menjadi jauh lebih kompleks. Idiom, humor, atau metafora yang terasa lucu di satu negara bisa terdengar membingungkan atau bahkan menyinggung di negara lain. Bahasa tubuh pun bisa menimbulkan salah paham. Karena itu, interpreter harus benar-benar fokus, netral, dan sensitif agar makna pesan tersampaikan dengan tepat tanpa menyinggung siapa pun. Dalam konteks diplomatik atau acara penting, kemampuan menjaga emosi dan ketepatan makna menjadi kunci agar komunikasi antarbudaya bisa berjalan lancar. Seorang interpreter yang baik tahu kapan harus berhenti, kapan menyesuaikan nada, dan kapan memberi ruang bagi pembicara untuk menjaga alur percakapan tetap alami.

Bayangin rapat antara pengusaha lokal dan perwakilan dari luar negeri. Pengusaha lokal sering memakai peribahasa dan ungkapan khas budaya mereka untuk menyampaikan maksud dengan cara yang halus, sedangkan lawan bicara lebih terbiasa dengan gaya komunikasi yang cepat dan langsung ke inti. Kalau tidak ada consecutive interpreting, percakapan seperti ini bisa dengan mudah salah arah dan memunculkan kebingungan. Di sinilah kehadiran seorang interpreter benar-benar berarti. Mereka tidak hanya menerjemahkan bahasa, tapi juga menyambungkan perasaan, menjadi jembatan hati antara dua budaya yang cara berpikirnya berbeda. Ungkapan lokal yang penuh makna bisa diubah menjadi kalimat yang tetap hangat dan mudah dimengerti tanpa kehilangan makna aslinya. Dalam penelitian "Provision of Interpreting Support for Cross-Cultural Communication in UK Maternity Services" (2023), ditemukan bahwa interpreter profesional membantu mengurangi miskomunikasi antara tenaga kesehatan dan pasien dari latar budaya berbeda. Penelitian lain oleh Cho (2022) berjudul "Intercultural Communication in Interpreting: Power and Choices" juga menegaskan bahwa interpreter sering menghadapi dilema budaya, yaitu bagaimana menyampaikan pesan dengan tepat tanpa menyinggung pihak mana pun. Lewat empati dan kepekaan budaya, interpreter membantu dua dunia yang berbeda untuk saling mengerti, bukan hanya lewat kata-kata, tapi lewat hati.

Kini, komunikasi lintas negara tidak lagi terbatas pada pertemuan langsung. Banyak interaksi yang terjadi lewat platform digital, dan interpreter ikut beradaptasi dengan teknologi baru. Namun, sehebat apa pun teknologi berkembang, peran manusia tetap tidak tergantikan. Interpreter memiliki kemampuan yang tidak bisa diberikan oleh mesin, yaitu empati, rasa, dan kepekaan terhadap konteks sosial serta emosi di balik sebuah percakapan. Dalam setiap proses menerjemahkan, mereka tidak hanya memindahkan makna dari satu bahasa ke bahasa lain, tapi juga membawa nuansa budaya, cara pandang, dan nilai kemanusiaan yang melekat pada kata-kata tersebut. Di dunia yang semakin cepat dan saling terhubung seperti sekarang, interpreter menjadi simbol bahwa komunikasi sejati bukan hanya tentang bicara, tapi juga tentang memahami. Mereka mengingatkan kita bahwa di balik setiap bahasa, selalu ada manusia yang ingin dimengerti. Melalui consecutive interpreting, batas-batas budaya yang memisahkan bisa berubah menjadi ruang dialog yang terbuka. Dan di sanalah letak keindahan sejati dari komunikasi lintas budaya, ketika kata-kata tidak hanya diterjemahkan, tetapi juga dirasakan. Ketika seorang interpreter berbicara, ia sedang melakukan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar menerjemahkan; ia sedang menghubungkan pengalaman, nilai, dan harapan manusia dari berbagai sudut dunia. Mereka menunjukkan bahwa bahasa hanyalah jembatan, tapi pengertian dan empati adalah fondasi yang membuat manusia benar-benar bisa saling memahami.

PENULIS:

1. Noora Haidar Bawazier

2. Yuni Sari Amalia S.S., M.A., Ph.D

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun