Lihat ke Halaman Asli

Amril Taufik Gobel

TERVERIFIKASI

Smiling Blogger, Restless Father, Lovely Husband and George Clooney wannabe :) See my Blog: http://daengbattala.com

Antara Emas Hijau dan Emas Biru: Dilema Konservasi Raja Ampat di Era Transisi Energi

Diperbarui: 8 Juni 2025   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Tambang Nikel di Raja Ampat (Sumber : Gemini AI Image Generated)

Di ujung barat laut Papua, Indonesia, terbentang sebuah kepulauan yang dikenal sebagai "surga terakhir dunia" -- Raja Ampat. Kawasan ini menyimpan kekayaan hayati laut yang tak tergantikan, dengan terumbu karang yang memukau dan keanekaragaman spesies laut yang menjadikannya pusat ekowisata global.

Namun, keindahan alamnya kini terancam oleh desakan kepentingan ekonomi dari sektor pertambangan nikel yang semakin masif, menciptakan perdebatan sengit antara konservasi lingkungan dan potensi keuntungan finansial yang menggiurkan.

Kekayaan biologis Raja Ampat memang menakjubkan. Sebagai jantung Segitiga Karang dunia, wilayah ini menampung sekitar 75% dari seluruh spesies karang keras yang diketahui di planet ini, dengan lebih dari 540 jenis terumbu karang yang telah teridentifikasi menurut data Conservation International. Keanekaragaman terumbu karang ini membentuk fondasi yang diperlukan untuk mendukung 1.500 spesies ikan yang tinggal di Raja Ampat, menjadikannya yang tertinggi dalam segitiga karang, dan karena itu di dunia.

Terletak di persimpangan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, Raja Ampat telah digambarkan sebagai 'pabrik spesies', di mana arus laut dalam yang kuat menyalurkan nutrisi ke dalam terumbu karang pinggiran Raja Ampat yang halus, tebing air biru, dataran bakau, dan padang lamun untuk membentuk fondasi rantai makanan yang memberi makan keanekaragaman hayati laut yang spektakuler.

Namun, di balik pesona alamnya, Indonesia memiliki posisi strategis sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia. Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2023, cadangan nikel nasional diperkirakan mencapai 4,8 miliar ton, dengan Raja Ampat menjadi salah satu lokasi strategis untuk eksploitasi mineral ini. Nikel memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, terutama sebagai bahan baku industri baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat yang permintaannya terus meningkat secara global.

Daya tarik ekonomis dari pengembangan tambang nikel di Raja Ampat memang sangat signifikan. Menurut proyeksi Badan Koordinasi Penanaman Modal tahun 2023, investasi pertambangan di kawasan ini diprediksi mampu menyerap lebih dari 5.000 tenaga kerja lokal secara langsung dan berkontribusi hingga Rp 2 triliun per tahun untuk pendapatan daerah. Pembangunan tambang juga diharapkan dapat mendorong pengembangan infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat yang selama ini bergantung pada sektor perikanan dan pariwisata.

Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan dampak yang mengkhawatirkan. Analisis Greenpeace mengungkapkan bahwa eksploitasi nikel di tiga pulau ini telah menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi asli khusus, dengan dokumentasi ekstensif menunjukkan limpasan tanah menyebabkan kekeruhan dan sedimentasi di perairan pesisir sebagai ancaman langsung.

Laporan Auriga Nusantara menemukan bahwa lahan yang digunakan untuk pertambangan di Raja Ampat bertambah sekitar 494 hektar dari tahun 2020 hingga 2024, yaitu sekitar tiga kali lipat dari tingkat ekspansi lima tahun sebelumnya.

Victor Nikijuluw, seorang penasihat program yang menjadi pakar dalam konservasi laut, memberikan peringatan keras mengenai dampak pertambangan terhadap ekosistem.

Menurut Nikijuluw, "Sedimentasi, atau limbah limpasan yang dihasilkan dari penambangan di darat yang mengalir ke air, menghancurkan ekosistem laut hilir". Pernyataan ini didukung oleh temuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2023 yang memprediksi dampak lingkungan dari pertambangan nikel di kawasan pesisir dapat menyebabkan penurunan populasi terumbu karang hingga 30% dalam kurun waktu lima tahun jika tidak dilakukan pengelolaan yang ketat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline