Saya sering bertemu orang yang rajin sekali bicara sampai tidak mau gantian. Sekalinya ada orang bicara, langsung dipotong dan dia asyik menceritakan diri sendiri, anak, keluarga, bahkan tetangganya. Biasanya yang punya stereotip begitu emak-emak, ya, tapi ternyata sebagian bapak-bapak juga begitu.
Dulu, saya gak enakan tiap ketemu orang yang ngomooong melulu. Saya dengarkan mereka bicara walau bosan setengah mati karena yang dibicarakan cuma dari sudut pandangnya dan tidak semenit pun memberi kesempatan saya bicara.
Sekarang, kalau ketemu orang yang begitu, saya tinggal atau kalau saya ingin bicara, ya, bicara meski orang itu berulangkali memotongnya.
Ironisnya, saat di dalam forum atau pertemuan resmi, orang yang hobi nyerocos malah kicep. Saat diminta pendapat atau tanggapannya sama sekali tidak berani bersuara. Setelah pertemuan selesai baru bicara, "Kok begitu, ya, mestinya, kan, begini. Kenapa gak begini, ya, bagusnya, kan, begitu."
Tadi waktu ditanya ada usul apa, gak mau jawab, pas pertemuan selesai baru nggrundeng.
Kenapa makin banyak orang yang seperti ini, ya? Senang bicara ngalor-ngidul, garang ketika memberikan pendapat di situasi santai, tapi diam seribu basa saat diminta bicara di situasi resmi.
Makin Sering Online Makin Kesepian
Saya dibesarkan pada zaman di mana informasi dan hiburan cuma didapat dari tivi, radio, dan bacaan seperti majalah, koran, dan buku. Jadi tidak masalah tidak aktif secara online karena masih bica baca buku atau ngobrol dengan suami dan anak-anak. Sekarang informasi juga didapat dari status WhatsApp, blog, situs berita, platform berbagi video, dan media sosial-hanya dalam hitungan detik.
Sering online, terutama di media sosial, dapat memicu rasa kesepian.
Menurut Yenny & Sri Wahyuning Astuti yang dikutip dari Jurnal Psikohumanika 2021, makin tinggi intensitas penggunaan media sosial, akan semakin menimbulkan kesepian. Rasa kesepian ini timbul salah satunya karena FOMO (fear of missing out/takut ketinggalan) hal yang viral dan ngetren di medsos. Akibatnya mereka jadi sering melakukan perbandingan sosial yang tanpa disadari justru memicu kesepian di dunia nyata.
Orang yang tidak menyadari kalau dirinya kesepian akhirnya akan lebih banyak bicara daripada mendengar karena ingin mendapat respons dan validasi dari lawan bicara.