Lihat ke Halaman Asli

amin yeremia siahaan

penyuka buka fiksi dan sejarah...

Sumur: Sebuah Cerpen oleh Eka Kurniawan

Diperbarui: 14 Juni 2021   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi.

"Senyum menghilang dari wajah para perempuan, dankebijaksanaan menguap dari mata para lelaki. Puncaknya terjadi pada duel antara ayah Toyib dan ayah Siti."

(Sumur, hal. 4)

Akhirnya buku Sumur bikinan Eka Kurniawan tiba setelah telat dari yang dijadwalkan. Saya beli melalui salah satu aplikasi e-commerce yang iklannya tiap hari nongol di televisi. Tetapi, tidak masalah, penjelasan yang diberikan si penjual masih logis. Setelah tiba, langsung baca hingga selesai. Dua tokoh utama, menurut saya, adalah Toyib dan Siti. 

Jalan cerita, secara ringkas, adalah tentang cinta yang tidak kesampaian. Toyib menyukai Siti sejak kecil, namun kandas karena ayah Toyib berduel dengan ayah Siti yang membuat Siti menjadi yatim. Siti kemudian pindah ke kota, bekerja di warung, menikah dengan supir yang telah beristri. Lalu, balik lagi ke kampung dengan membawa suaminya dan bertemu lagi dengan Toyib, yang juga telah menikah. Cinta lama bersemi kembali di antara mereka. Di akhir cerita, dikisahkan istri Toyib yang kabur bersama suami Siti dan kemudian mereka ditemukan terkapar di Sumur. Kemudian, gantian Toyib yang pindah ke kota meninggalkan Siti.

Apa yang mau disampaikan Sumur? Ini bukan semata soal Toyib dan Siti, namun hendak menyampaikan pesan lain, paling tidak menurut saya, soal isu lingkungan dan kemiskinan. Dulunya, kampung Toyib dan Siti tercukupi air. Lalu, masalah datang ketika air mulai sulit ditemukan akibat kemarau. Inilah penyebabnya mengapa ayah Toyib dan Siti berkelahi, padahal mereka teman akrab sejak kecil di kampung. Mereka berebut air. Air memainkan peran vital karena air itulah yang akan menyambung nyawa mereka hari demi hari. Ketiadaan air maka artinya gagal panen. Gagal panen berarti tidak bisa makan dan tidak ada penghasilan. Tidak ada pendapatan berarti menjadi miskin.

Namun, tidak tepat pula jika mengartikan faktor lingkungan (ketiadaan air) sebagai faktor yang menyebabkan kemiskinan. Apa pun ceritanya manusia tidak bisa melawan alam. Dan sebagai penumpang, sudah sepatutnya manusia merawat alam. Faktanya? Kita malah merusak alam dengan cara menebang hutan untuk ekspansi perkebunan dan tambang, sawah-sawah digusur dengan pabrik, dan belum lagi polusi udara kendaraan. Ekosistem alam terganggu. Dan barang kali anomali iklim adalah cara alam untuk menegur kita.

Alasan lain untuk menyatakan alam bukan penyebab kemiskinan adalah: ketika iklim masih normal, di mana hujan dan kemarau datang silih berganti dengan jadwal yang tetap, kehidupan petani kita juga tidak luput dari kemiskinan. 

Mengapa? Sebelumnya, petani itu adalah orang paling rajin. Mereka berangkat subuh dan pulang menjelang malam tiba. Tetapi kebanyakan dari mereka hidup miskin, punya hutang sana-sini. Bisa jadi karena hal-hal berikut: kesulitan mendapatkan pupuk, kalau pun ada harganya mahal, peralatan pertanian yang ketinggalan jaman, bibit kualitas baik harganya mahal, ketika panen harga jual di petani dihargai rendah. Faktor lainnya adalah lahan mereka yang semakin berkurang, bisa jadi karena digusur, atau dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dengan kata lain, petani menjadi miskin karena ulah manusia itu sendiri, bukan alam. Kebijakan penguasa yang tidak memihak petani adalah sumber utama kemiskinan itu. Dalam Sumur, Toyib dan Siti menjadi korban. Dalam kehidupan nyata, kita bisa temukan di sana-sini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline