Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hukum yang Kaku, Pendidikan yang Luka

18 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 17 Oktober 2025   18:58 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Ruang Kelas, Hati Guru Diadili (Dokumentasi Pribadi)

Ketika Sekolah Tak Lagi Sehangat Rumah

Dulu, ruang kelas adalah tempat di mana tawa anak-anak berpadu dengan suara kapur di papan tulis. Guru bukan sekadar pengajar, melainkan orang tua kedua yang menegur dengan kasih dan memarahi karena cinta. Namun kini, suasana itu perlahan berubah. Ruang yang dahulu hangat oleh sapaan dan nasihat kini terasa dingin oleh ketakutan. Guru berhati-hati dalam setiap kata dan gerak, takut bila tegurannya salah dimaknai, takut bila cintanya pada murid diterjemahkan sebagai kekerasan.

Sungguh ironis, ketika niat baik seorang pendidik dapat mencopot pangkat dan nama baiknya hanya karena satu tindakan spontan yang lahir dari rasa peduli. Ia tak bermaksud menyakiti, melainkan mengingatkan, tetapi di mata hukum yang kaku, tak ada ruang bagi niat, yang dihitung hanyalah pelanggaran formal. Maka pertanyaan pun menggema di hati: "Sejak kapan pendidikan berubah menjadi perkara hukum, bukan lagi perkara hati?"

Pertanyaan itu bukan sekadar keluhan, melainkan jeritan sunyi dari para guru yang merasa kehilangan rumahnya sendiri: sekolah. Ketika aturan menjadi lebih tinggi daripada kasih dan prosedur menelan kebijaksanaan, pendidikan kehilangan jiwanya. Di sanalah luka itu lahir, ketika niat baik terluka oleh kekakuan, dan pendidikan yang seharusnya menyembuhkan justru ikut berdarah atas nama hukum.

Guru di Persimpangan Takut dan Tanggung Jawab

Menjadi guru di masa kini seperti berdiri di persimpangan yang sunyi: satu kaki berpijak pada tanggung jawab moral untuk mendidik, satu kaki lainnya terikat oleh rasa takut disalahkan. Di hadapan siswa yang kian berani melawan otoritas, guru menahan napas sebelum menegur, menimbang kata sebelum menasihati. Ia tahu bahwa satu kalimat yang salah ucap, satu gerak tangan yang terlalu spontan, bisa menyeretnya ke ruang pemeriksaan atau kehilangan pekerjaan yang dicintainya.

Di beberapa sekolah, kisah itu berulang: seorang guru menegur siswanya yang melanggar aturan, datang terlambat, merokok di halaman, atau berbicara kasar di kelas. Teguran yang lahir dari niat mendisiplinkan justru berubah menjadi perkara hukum setelah direkam, disebar, dan dipelintir di dunia maya. Tak ada lagi ruang bagi konteks, hanya potongan gambar yang menghakimi. Seolah kasih yang keras itu tak lagi pantas di dunia yang mudah tersinggung.

Seorang guru kini hidup dalam paradoks: ia diminta membentuk karakter, namun tak diberi ruang untuk bersikap tegas; ia diharuskan menanamkan disiplin, namun setiap tindakan harus dibungkus seribu alasan agar tak dianggap kekerasan. Dunia pendidikan, tulis Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), "seharusnya menjadi ruang pembebasan, bukan ketakutan." Namun yang terjadi justru sebaliknya, sebuah ruang di mana pendidik takut pada muridnya sendiri, bukan karena kehilangan wibawa, melainkan karena kehilangan perlindungan.

Kini pendidikan seperti berjalan di atas kaca tipis. Setiap langkah harus hati-hati, setiap keputusan penuh risiko. Sedikit saja tergelincir, guru bisa jatuh ke jurang tuduhan. Padahal, di balik kegelisahan itu, tetap ada hati tulus, yang ingin anak-anak tumbuh berkarakter, bukan sekadar berpengetahuan. Tapi bagaimana mungkin menanamkan nilai jika tangan yang hendak menuntun justru diikat oleh rasa takut?

Di titik ini, kita perlu bertanya dengan jujur: Apakah bangsa ini masih percaya pada ketulusan seorang guru, ataukah kita kini lebih percaya pada sorotan kamera dan huruf-huruf hukum yang dingin? Di pihak lain, apakah guru wajib menindak murid atas nama penanaman nilai disiplin dan moral?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun