Krisis Kepercayaan antara Sekolah dan Rumah
Dulu, orang tua dan guru berjalan seiring di jalan yang sama, jalan yang bernama cinta dan harapan bagi masa depan anak. Ketika seorang anak berbuat salah, orang tua mendatangi sekolah bukan untuk memarahi guru, melainkan untuk berterima kasih karena masih ada yang peduli. Namun kini, pemandangan itu kian jarang. Yang tampak adalah dua pihak yang dulu bersaudara kini berhadapan di ruang hukum: satu membawa laporan, satu membawa luka. Sekolah dan rumah yang seharusnya saling menguatkan justru dipisahkan oleh dinding curiga dan prasangka.
Ada jarak emosional yang kian melebar di antara keduanya. Rumah sibuk menuduh sekolah gagal mendidik; sekolah merasa rumah lalai membentuk karakter. Di tengah jurang itu, anak-anak berdiri bingung, tak tahu siapa yang harus dipercaya, sebab dua sosok yang seharusnya menuntun mereka kini saling menuding. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan (1936), "Pendidikan sejati tumbuh dari kerja sama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat." Namun kerja sama itu kini rapuh; akar saling percaya mulai kering, tersisihkan oleh ego dan gengsi.
Rumah yang mestinya menjadi pelabuhan nilai kini sering melempar tanggung jawab kepada sekolah. Sementara sekolah, terjebak dalam aturan dan administrasi, kehilangan keleluasaan untuk mendidik dengan hati. Maka tak heran jika setiap masalah kecil berubah menjadi besar, karena tak lagi diselesaikan dengan dialog, melainkan dengan berkas laporan dan berita viral.
Sudah saatnya kita kembali menanam benih kepercayaan itu. Orang tua dan guru perlu kembali duduk satu meja, saling mendengar tanpa prasangka, saling memahami tanpa membenarkan diri sendiri. Komunikasi yang jujur dan empati yang tulus adalah jembatan yang mampu menutup jurang curiga itu.
Sebab pada akhirnya, anak-anak tak butuh orang dewasa yang saling menyalahkan, mereka butuh rumah dan sekolah yang kembali hangat, yang berpelukan dalam misi yang sama: 'mendidik dengan hati, bukan dengan amarah atau hukum yang kaku.'
Hukum yang Kaku, Nilai yang Patah
Hukum, pada dasarnya, lahir untuk menjaga keteraturan hidup manusia---agar tidak ada yang dirugikan, agar keadilan tetap berdiri. Namun dalam dunia pendidikan, hukum sering hadir dengan wajah yang terlalu dingin. Ia menatap segala sesuatu melalui kaca pasal dan peraturan, tanpa sempat menunduk melihat hati manusia di baliknya. Padahal, seperti ditulis Satjipto Rahardjo dalam Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (2009), "Hukum itu bukan sekadar teks yang mati, melainkan harus berdenyut mengikuti nurani kemanusiaan." Bila hukum kehilangan denyut itu, ia berubah dari pelindung menjadi pedang yang melukai.
Kini, di banyak ruang sekolah, kehangatan pendidikan perlahan sirna karena segala tindakan harus diukur dengan pasal. Guru tak lagi spontan menasihati dengan hati, melainkan berhitung risiko hukum sebelum berbicara. Teguran sederhana bisa dianggap pelanggaran, sentuhan ringan bisa disebut kekerasan. Sekolah yang dulu menjadi taman kasih berubah menjadi ruang formal penuh tanda tangan dan dokumen pembelaan diri.
Dalam suasana seperti ini, nilai-nilai luhur yang mestinya tumbuh dari kedekatan emosional antara guru dan murid mulai patah. Pendidikan kehilangan roh moralnya, karena setiap keputusan harus "aman secara hukum," bukan "benar secara hati." Di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan merenung: apakah keadilan yang dicapai melalui ketakutan masih bisa disebut keadilan?
Kebenaran hukum belum tentu kebijaksanaan moral. Hukum bisa saja menilai tindakan guru salah, tetapi nurani yang jernih tahu bahwa tidak semua kesalahan adalah kejahatan. Ada niat baik yang tidak sempurna, ada kasih yang terucap dalam bentuk yang keliru. Dan bila hukum terlalu kaku untuk memahaminya, maka bukan hanya guru yang terluka, melainkan juga nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi fondasi pendidikan. Pendidikan akan tetap sakit selama hukum berdiri tegak tanpa hati, dan guru berjalan menunduk tanpa perlindungan nurani.