Oleh: Ali Mutaufiq
Kita sedang menyaksikan zaman yang unik: seorang anak bisa lebih akrab dengan layar daripada dengan wajah orang tuanya. Seorang remaja bisa bicara lantang di media sosial, tapi gugup saat harus berhadapan langsung dengan guru atau tetangga. Ini bukan sekadar cerita perubahan zaman, tapi juga refleksi tentang pergeseran akhlak di tengah arus teknologi yang tak terbendung.
Generasi Milenial, Gen Z, dan Alfa: Siapa Mereka?
Milenial (lahir 1981--1996) tumbuh bersama teknologi yang sedang bertumbuh. Mereka saksi transisi dunia dari analog ke digital. Gen Z (1997--2012) lahir saat internet sudah menjadi kebutuhan primer, dan Generasi Alfa (lahir setelah 2012) bahkan mengenal dunia dengan sentuhan layar sejak bayi.
Ketiga generasi ini hidup dalam kemudahan teknologi, tetapi juga dihadapkan pada tantangan moral yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Ketika Dunia Maya Menggeser Nilai-Nilai Nyata
Gadget bukan sekadar alat. Ia adalah pintu gerbang ke dunia lain: dunia penuh informasi, hiburan, dan juga godaan. Etika dan akhlak kerap dikesampingkan demi popularitas dan pengakuan. Kita mulai terbiasa melihat komentar kasar, konten tidak pantas, hingga viralitas yang tak selalu sehat.
Yang lebih mengkhawatirkan, banyak anak muda mengukur harga dirinya dari "like", "followers", dan views. Ukuran baik atau buruk bukan lagi soal benar dan salah, tapi soal apa yang ramai dan disukai publik.
Apakah Akhlak Masih Relevan?
Tentu saja. Justru di tengah derasnya arus digital, akhlak menjadi jangkar utama agar tidak hanyut. Akhlak bukan sekadar pelajaran agama atau nilai ujian, tapi fondasi karakter yang menentukan siapa kita saat dunia sedang tak melihat.