Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

TERVERIFIKASI

Menjangkau Sesama dengan Buku

[Seri 5] Senyum yang Tersisa, Sahabat yang Tak Pernah Pergi

Diperbarui: 5 Oktober 2025   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(saat kita reuni kecil di Omah Tongkrong, Berbah, foto: Ismul)

Senyum yang Tersisa, Sahabat yang Tak Pernah Pergi

Empat minggu telah berlalu, Kris, tapi kehadiranmu masih terasa begitu nyata, seperti angin sepoi yang menyapu wajah di pagi hari. Aku masih bisa melihat senyummu yang malu-malu, yang selalu muncul saat kau mencoba menyembunyikan rasa gugup atau bahagia. Masih ingat kalau engkau sedang nervous atau grogi mau tampil depan umum: telapak tanganmu pasti dingin dan berkeringat. Ketika digenggam engkau hanya bilang, aku ora opo-opo.

Aku juga masih ingat raut wajahmu yang berubah tipis (pipimu yang tiba-tiba memerah) ketika sesuatu membuatmu tersinggung atau marah. Tapi kau, sahabatku, adalah ahli menyembunyikan badai di hati. Kata-katamu selalu tenang, emosimu terkendali, tidak seperti aku yang gemetar suaranya, nada bicaraku meninggi, dan tengkukku menegang saat amarah menguasai. Kadang aku iri, Kris. Betapa kau bisa begitu santai menutupi luka atau kekecewaan tanpa mengubah air muka. Itu anugerah yang tak semua orang miliki. Dan kau akan tetap tersenyum meski sebenarnya kau mangkel dengan yang kau mangkeli.

Masih ingatkah saat di meja makan malam itu, ketika seorang frater yang sudah lebih tua usianya dari kita, namun dia masih adik angkatan yang dengan bangganya mengejek kita sebagai orang asing yang tsy mahay raha (tidak tahu apa-apa) tentang Madagascar. Dengan santai (namun sebenarnya emosi) kamu menjawab, "ia kami baru dua minggu, jadi belum tahu apa-apa." Dan suasana malam itu mengubah mood makan kita yang sudah tidak mood menjadi semakin buruk. Akhirnya kita hanya makan roti karena nafsu makan sudah hilang. Haha..lucu juga kita ya.

Aku juga masih ingat dengan baik hari-hari awal kita di tanah asing, Madagaskar, ketika dunia terasa begitu luas dan kita hanyalah dua pemuda yang belajar merangkak di tempat baru. Ingatkah kau saat kita bertiga (kau, aku, dan Romo Romain) pergi berbelanja di Carrefour Antamena? Supermarket raksasa itu, penuh dengan barang-barang dari seluruh penjuru dunia, membuat kita takjub sekaligus rindu rumah.

Kita mencari sabun Lux dan Indomie, barang-barang yang kita pikir adalah jejak Indonesia di negeri orang. Tapi pada akhirnya, kita hanya tertawa dan mengurungkan niat membelinya. Bukan karena kita tak ingin, tapi karena kita tahu Romo Romain akan dengan senang hati membayarnya tanpa protes, dan kita malu memanfaatkan kebaikan hatinya, yang menganggap kita seperti cucunya sendiri, sampai membuat beberapa teman kita di sana iri karena selalu kita dua yang diajak pergi haha.

Namun akhirnya, kita memilih menemani Romo mendorong dua troli besar, penuh dengan keperluan bulanan para frater, termasuk kita. Bukankah dengan kaul kemiskinan dan ketaatan, kita belajar kerendahan hati, meminta hanya apa yang benar-benar kita butuhkan kepada ekonom? Cara hidup demikian cukup mewarnai keseharian kita, bahkan lama setelah kita tidak di "dalam sana" lagi. 

(ini foto yang kamu ambil saat kunjungan Romo Wim, Superior Jenderal MSF tahun 1999, dokpri)

Hari itu, saat turun dari mobil mini Romo Romain, kita melihat coretan di dinding parkir: Ratsiraka = Suharto. Kita tertawa terbahak-bahak, seolah-olah dunia sedang berbagi rahasia kecil dengan kita. Di tahun-tahun terakhir kekuasaan Suharto, ternyata namanya sampai ke Madagaskar, disamakan dengan presiden setempat dalam tuduhan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Romo Romain memandang kita dengan heran, bertanya, "Apa yang kalian tertawakan?" Spontan kita menunjuk coretan di dinding itu, dan dia ikut tertawa, menggelengkan kepala sambil berkata, "Kalian berdua gila, presiden sendiri kok diledek!" Itu adalah momen sederhana, tapi penuh kehangatan, awal dari petualangan kita di negeri asing, ketika segalanya terasa asing namun penuh harapan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline