Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

TERVERIFIKASI

Menjangkau Sesama dengan Buku

[sisigelap] Pujian yang Tak Pernah Kembali

Diperbarui: 4 Oktober 2025   16:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(olahan GrokAI.dokpri)

Pujian yang Tak Pernah Kembali

Lima tahun. Lima tahun ia menghabiskan energi, pikiran, bahkan harga dirinya, hanya untuk menjadi orang yang "selalu menyenangkan" di mata atasan. Setiap pagi, sebelum masuk kantor, Rendra berdiri di depan cermin dan berlatih senyum, tidak terlalu lebar, tidak terlalu kaku, tapi cukup tulus untuk meyakinkan. Ia hafal betul kalimat-kalimat yang membuat Pak Hartono, direktur utama, tersenyum puas:

"Ini ide brilian, Pak. Bapak memang hebat, smart!"
"Saya yakin hanya Bapak yang bisa memikirkan solusi secerdas ini."
"Tim ini beruntung sekali punya pemimpin seperti Bapak."

Dan berhasil. Rendra naik jabatan lebih cepat daripada rekan-rekannya. Dari staf biasa jadi kepala divisi dalam waktu tiga tahun. Ia punya kantor pribadi, mobil dinas, dan gaji yang membuat teman-temannya iri. Tapi malam ini, duduk sendirian di ruang kantornya yang gelap, Rendra merasa kosong. Lebih dari kosong, ia merasa seperti boneka kayu yang baru saja tali-talinya putus.

Semuanya berawal dari rapat darurat tadi siang. Perusahaan sedang di ambang krisis: proyek andalan gagal total, klien utama mundur, dan laporan keuangan menunjukkan kerugian besar. Pak Hartono, yang biasanya tenang, tampak pucat. Ia menatap satu per satu wajah di ruangan itu, lalu bertanya, suaranya bergetar:

"Apa yang salah? Siapa yang tahu ini akan terjadi?"

Ruang rapat hening. Rendra, yang selama ini selalu jadi suara pertama yang memuji, kali ini diam. Ia tahu. Ia tahu sejak tiga bulan lalu, saat laporan internal menunjukkan tanda-tanda kegagalan. Tapi ia memilih memaniskannya. Ia menulis: "Proyek mengalami sedikit hambatan, namun potensi keberhasilannya masih sangat tinggi." Ia bahkan menyarankan agar Pak Hartono tetap optimis di depan media. Karena ia takut, takut dikira pesimis, takut dianggap tidak loyal, takut kehilangan posisinya.

Tapi hari ini, ketika Pak Hartono memandangnya dengan mata penuh harap, Rendra tak bisa bicara. Lidahnya kelu. Bukan karena tak tahu jawabannya, tapi karena ia sadar: selama ini, ia bukan bagian dari solusi. Ia bagian dari masalah. Dan yang lebih menyakitkan, ia tahu, Pak Hartono pun mulai menyadarinya.

Setelah rapat, seorang rekan lama, Maya yang dulu sering ia anggap "terlalu blak-blakan", menghampirinya di pantry.

"Kamu tahu, Ren, dulu aku iri sama kamu. Naik cepat, dipercaya bos. Tapi sekarang... aku malah kasihan."

Rendra terdiam.

"Kamu nggak punya siapa-siapa lagi di sini. Orang-orang nggak percaya sama kata-katamu. Bahkan Pak Hartono pun mulai ragu. Karena selama ini, kamu nggak pernah bilang yang sebenarnya, kamu cuma bilang yang dia mau dengar."

Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada teguran apa pun.

Malam ini, Rendra duduk di kursi empuknya, memandangi sertifikat penghargaan "Karyawan Teladan" yang tergantung di dinding. Ia tertawa getir. Teladan dalam apa? Dalam berbohong dengan senyum? Dalam mengubur kebenaran demi citra?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline