Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

TERVERIFIKASI

Menjangkau Sesama dengan Buku

Setia dalam Harta, Setia dalam Hidup, Menjadi Hamba Tuhan di Era Digital

Diperbarui: 21 September 2025   06:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(olahan GemAIBot, dokpri)

Setia dalam Harta, Setia dalam Hidup: Menjadi Hamba Tuhan di Era Digital

Hidup hari ini serba cepat. Segalanya bisa diakses dalam hitungan detik informasi, hiburan, bahkan pujian dan pengakuan. Tapi di balik kemudahan itu, ada godaan besar: kita lupa untuk siapa kita hidup, dan untuk apa kita menggunakan apa yang Tuhan percayakan kepada kita.

Ketiga bacaan hari ini (Amos 8:4-7; 1Timotius 2:1-8; Lukas 16:1-13) dari nabi yang marah, rasul yang mengajak berdoa, hingga Yesus yang bicara soal uang seolah berkumpul untuk mengingatkan kita: kesetiaan bukan soal hal besar, tapi soal hal kecil. Dan di era digital, hal-hal kecil itulah yang justru paling menentukan arah hidup kita.

Tuhan Tidak Tuli Terhadap Ketidakadilan (Amos 8:4-7)

Bayangkan Anda sedang ke pasar dan di sana Nabi Amos berdiri di gerbang pasar, suaranya lantang: "Dengarlah ini, hai kamu yang menginjak-injak orang miskin... kamu berkata: 'Bilakah bulan baru berlalu, supaya kita boleh menjual gandum?'"

Mereka tidak sabar menunggu hari raya berakhir, bukan karena rindu ibadah, tapi karena ingin kembali berdagang, menipu, dan menumpuk keuntungan. Mereka memperlakukan manusia seperti angka di buku laba rugi. Dan Tuhan bersumpah: "Aku tidak akan melupakannya!"

Ini bukan hanya kisah zaman dulu. Ini teriakan Tuhan yang masih bergema hari ini terhadap mereka yang memanfaatkan kelemahan orang lain demi keuntungan. Terhadap sistem yang menghalalkan segala cara asal cuan mengalir.

 

Doa Yang Membuka Langit (1 Timotius 2:1-8)

Paulus menulis kepada Timotius dengan nada lembut tapi tegas: "Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang..."

Semua orang. Bukan hanya yang kita sukai. Bukan hanya yang seiman. Tapi juga penguasa, musuh, bahkan mereka yang menyakiti kita. Mengapa? Karena doa bukan ritual, doa adalah jembatan yang menghubungkan surga dan bumi. Doa adalah senjata yang mengubah hati, meredakan amarah, dan membuka jalan damai.

Di tengah dunia yang penuh debat, hoaks, dan kebencian, Tuhan mengundang kita kembali ke tempat yang paling sederhana: berlutut. Karena hanya di hadapan-Nya, kita belajar rendah hati. Hanya dalam doa, kita ingat: semua manusia adalah ciptaan-Nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline