KEKUASAAN KATA [3]: Menulis Sebagai Jalan Penyembuhan, Pelayanan, dan Pertemuan Jiwa
Saya tak pernah bermimpi jadi penulis.
Saya hanya pernah bermimpi jadi imam,
namun "kandas" di tengah tanjakan sebelum masuk tikungan terakhir
sebelum mengikrarkan janji abadi.
Saya tak pernah bermimpi jadi guru.
Saya tak pernah ingin jadi pelatih.
Saya bahkan tak pernah merasa cukup pintar untuk mengajari siapa-siapa.
Tapi hidup punya cara sendiri untuk menempatkan kita di tempat yang tak pernah kita rencanakan, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai pelayan. Bukan sebagai bintang, tapi sebagai jembatan.
Dan di situlah saya menemukan kekuasaan kata yang paling dalam: ketika kata-kata tak lagi untuk dipamerkan, tapi untuk dibagikan. Ketika menulis tak lagi untuk diri sendiri, tapi untuk menyembuhkan: diri sendiri, dan orang lain.
Memberi Pelatihan: Bukan Mengajar, Tapi Belajar Bersama
Setiap kali saya memegang mikrofon di depan ruangan pelatihan (entah di aula paroki atau keuskupan, atau di ruang kelas yang sumpek, atau lewat zoom dengan koneksi yang naik-turun, saya selalu mulai dengan kalimat yang sama:
"Saya bukan guru. Saya hanya teman yang sedikit lebih dulu jatuh, lalu bangkit, dan mencatat bagaimana rasanya."
Pelatihan menulis, bagi saya, bukan tentang teori atau teknik sempurna. Ini tentang keberanian. Keberanian untuk jujur. Keberanian untuk menangis di depan paragraf. Keberanian untuk mengakui: "Aku belum bisa, tapi aku mau mencoba."
[Pernah dalam pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias, ada peserta yang dengan yakin mengatakan dia tidak bisa menulis, selain menulis kas bon. Panjang kali lebar kami berdiskusi, sebelum akhirnya saya memintanya untuk menuliskan kembali keluhannya tadi ke kertas atau laptopnya. Tidak sampai lima belas menit, dia sudah selesai mencatat kembali pembicaraan kami. Saya hanya meyakinkannya, tidak ada yang tidak mungkin jika kita tidak pernah berusaha. Setelah pelatihan -dengan memberi tugas menulis selama dua minggu- dia bisa menyelesaikan tulisannya bahkan menjadi sangat indah dan layak dibaca orang lain. Jangan pernah mengeluh sebelum mencoba]
Saya sering jadi fasilitator cadangan, karena tugas utama saya adalah menyelesaikan semua hasil pelatihan menjadi sebuah buku. Kadang saya menjadi pelatih tunggal. Tapi yang utama adalah hati yang percaya bahwa menulis bisa jadi terapi, bisa jadi doa, bisa jadi jalan pulang.
Dan setiap kali selesai, saya selalu pulang dengan sesuatu yang tak bisa dibeli: cerita-cerita kecil yang disembunyikan di balik senyum peserta. Ada yang menulis tentang ibunya yang sudah tiada. Ada yang menulis surat maaf untuk dirinya sendiri. Ada yang pertama kali menangis setelah bertahun-tahun membekukan hati. Ada yang bisa mencairkan hubungan dengan ibunya setelah sang ibu membaca tulisannya. Ada yang bisa berdamai dengan diri setelah sekian puluh tahun merasa diri sebagai pembunuh hanya karena pernah mengalami kecelakaan mobil dan beberapa penumpang (yang adalah keluarga dekatnya) meninggal. Ia divonis sebagai pembunuh. Namun dengan menulis vonis itu bisa diterimanya dengan lapang hati.