Lihat ke Halaman Asli

Aldhie Putera Prasetiya

Analis Independen

PSK: Pahlawan Ekonomi yang Tidak Diakui

Diperbarui: 15 Juli 2025   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di negeri yang katanya menjunjung tinggi moral, pekerja seks komersial (PSK) selalu menjadi kambing hitam kesekian dalam daftar panjang masalah bangsa. Mereka disebut penyakit masyarakat, perusak moral, bahkan ancaman peradaban. Tapi anehnya, pelanggannya tidak pernah disebut dalam satu kalimat yang sama.

Siapa pelanggan PSK? Bukan alien. Mereka manusia biasa. Kadang sopir, kadang ABG, kadang blablabla, kadang blablabla, kadang blablabla (bisa dijawab sendiri dengan senyum). Tapi karena transaksi mereka terjadi dalam gelap, yang disorot justru si penjual, bukan si pembeli.

Yang lebih lucu lagi, ketika bicara soal PSK, yang selalu dibayangkan adalah perempuan. Seolah pekerjaan ini hanya dilakukan oleh kaum hawa. Padahal, dunia tidak sesempit itu. PSK laki-laki juga ada jumlahnya mungkin lebih sedikit, tapi pasarnya sangat khusus dan loyal. Biasanya tidak mangkal di lorong-lorong hotel melati, tapi tersembunyi di balik akun-akun sosial media, grup Telegram, hingga aplikasi "pijat panggilan".

Namun, media lebih senang mengangkat isu PSK perempuan. Mungkin karena lebih kontroversial, lebih menarik klik, dan lebih mudah disalahkan. Bahkan perempuan sesama perempuan pun kerap mencibir, mencap mereka murahan, hina, dan tak tahu diri. Lupa bahwa banyak dari mereka justru terjebak oleh sistem sosial dan tekanan ekonomi yang tak memberi ruang untuk bernapas.

Mari kita jujur. Tidak ada yang benar-benar bercita-cita menjadi PSK. Tapi ketika pendidikan tak terjangkau, pekerjaan minim, dan gaji buruh hanya cukup untuk hidup tiga hari, pilihan pun jadi sempit. Beberapa orang memilih jalan pintas: menjual tubuh, bukan karena bangga, tapi karena terpaksa.

Yang lebih ironi, roda ekonomi dari transaksi PSK ini begitu besar dan aktif. Mulai dari pengusaha karaoke, pemilik hotel, tukang ojek pengantar tamu, penjual minuman di lokasi hiburan, hingga itu yang "mengamankan" lokasi. Semua dapat bagian. Tapi hanya satu yang disorot dan disalahkan: PSK.

Negara? Pura-pura tak tahu (didalam hatinya maaf wargaku, ini untuk "kemaslahatan"). Razia dilakukan demi citra. Tapi praktik tetap berjalan. Kadang tempat hiburan ditutup, besoknya buka lagi dengan nama baru. Kadang PSK dipindahkan, tapi pelanggan tetap tahu dimana mencarinya.

Dan lucunya lagi, sebagian blablabla yang bersuara paling keras memberantas PSK, bisa jadi adalah pelanggan paling rutin. Tapi tentu, kita tidak boleh menuduh. Karena kalau pelanggannya berpakaian rapi dan naik mobil dinas, biasanya dianggap sedang melakukan pembinaan.

Lalu bagaimana solusinya? Apakah kita akan terus hidup dalam siklus munafik ini? Menutup mata tapi menggenggam keuntungan? Mengutuk mereka tapi diam saat sistem menciptakan mereka?

Mungkin sudah saatnya kita berpikir ulang. Jangan buru-buru menyalahkan perempuan yang menjual diri, sebelum kita bertanya: siapa yang membuat harga diri mereka jatuh sedemikian rendah? Dan siapa yang menikmati itu semua diam-diam?

Akhir kalimat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline