Diskusi Refleksi, Edukasi, dan Berbagi Obrolan Inspiratif (REBORN #2) yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Kompetensi (Pusbangkom) Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Keagamaan Kementerian Agama di Ciputat, Kamis (19/2/2025).
Ciputat (BMBPSDM)---Pusat Pengembangan Kompetensi (Pusbangkom) Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Keagamaan Kementerian Agama menggelar program Refleksi, Edukasi, dan Berbagi Obrolan Inspiratif (REBORN #1) dengan tema Miskonsepsi dan Malpraktek dalam Penilaian Pembelajaran. Acara ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Widyaiswara Pubangkom SDM Pendidikan dan Keagamaan, Dr. Yasri, M.Pd., Dr. Waryadi, M.Pd., dan Dra. Agustantini Isana Dewi, M.Pd.
Miskonsepsi adalah pemahaman yang salah atau tidak akurat tentang suatu konsep. Jika Malpraktik dalam dunia kedokteran bisa mengakibatkan kecederaan bahkan meninggal. Dalam konteks penilaian pembelajaran, miskonsepsi dapat terjadi pada guru, siswa, atau bahkan orang tua. Kenapa Malpraktik ini sangat penting untuk kita bahas?
"Satu kali Malpraktik penilaian bisa melibatkan banyak orang, tetapi kalau kedokteran melibatkan satu orang. Pertama dasar hukumnya sekitar 1400 tahun yang lalu sudah ada mensinyalir malpraktik itu. Disurat Al-Mulk ayat dua yang artinya "Ya Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya". Artinya siapa yang amalnya lebih baik, bahkan ada yang amalnya lebih banyak tetapi tidak baik. Dari sana kita merenung berarti kalau baik proses hulu hilirnya baik, tapi kalau banyak belum tentu baik. Kebiasaan kalau sering dilakukan jadi pembenaran, membenarkan kebiasaan itu kita jadikan sebagai suatu hal yang benar. Yang kedua ada penelitian yang saya lakukan, sekitar lima tahun lalu tentang dapak pelatihan , sekitar 2000 orang guru 59 madrasah, indikator soal yang dibuat berdasarkan PPK hanya 35%, butir soal berdasarkan indikator hanya 40,81%, soal menggunakan Bahasa hanya 63%. Artinya tidak maksimal dan adanya miskonsepsi. Ada tiga hal yang perlu kita ungkapkan yang disebut rukun guru. Rukun guru ada tiga, perencanaan, pelaksanaan, penilaian. Penilaian adalah rukun yang ketiga, jadi kalau ada guru yang tidak melaksanakan kegiatan tersebut, berarti bukan guru yang baik. Tentang penilaian, ada empat hal yang perlu kita pahami bersama dalam proses penilaian, yang pertama pengujian, pengukuran, penilaian dan evaluasi. Kapan pengujian dimulai? Pengujian dimulai ada syaratnya, ada yang diuji, ada yang menguji, ada waktu uji, ada tempat uji, dan ada alat uji/instrumin. Tentang soal juga ada syaratnya, ada kurikulumnya, ada tujuaan pembelajaran, sampai kepada kunci jawabannya. Kemudian pengukuran, ada masing-asing komponennya. Kemudian yang ketiga penilaian, penilaian adalah proses penggabungan sekumpulan dari pengumpulan data, pengolahan data dengan alat tertentu. Kemudian proses evaluasi." Ujar Yasri.
Proses dalam menjalani instrument yang dilihat pertama itu tujuannya. Adapun tujuannya itu untuk menguji terhadap penguasaan suatu materi. Setelah itu, lihat kompetensi apa yang di inginkan, Ketika guru tidak memperhatikan itu maka akan terjadi malpraktik pada hukumnya". Ujar Waryadi
Ketika guru membuat soal tidak berdasarkan materi dapat diartikan sebagai malpraktik, ketika kita membuat soal harus melihat CP (Capaian Pembelajarannya), kemudian diturunkan ke TP, kemudian bisa jug uke alur tujuan pembelajaran, kemudian baru KKTP (Kriteria Ketepatan Tujuan Pembelajaran). Dari situ kita temukan sebuah indikator soal, kemudian dari indikator soal, kita membuat kisi-kisi tadi. Yang sering dilakukan guru, dia langsung membuat soal, bahkan soal itu tidak berdasarkan materi tapi browsing aja di Internet. Dan kegiatan tersebut adalah salah satu contoh malpraktik. Dan Banyak guru juga menilai berdasarkan latar belakang siswa itu sendiri" Tutur Agustantini.
Ketika guru melihat anak dengan karakter baik, kemudian memberikan nilai plus kepada anak tersebut, apakah kegiatan tersebut termasuk malpratik?
"Menurut teori memang ada nilai X terhadap point tersebut, namun apabila ada sebuah nilai si A tidak memenuhi kompetensi, itu sangat tidak adil atau dzolim. Karena prinsip penilaian adalah mengolah, mengolah ulangan hariannya, rata-ratanya dan tugasnya berapa. Kemudian guru memotret. Jadi jangan sampai dalam proses penilaian itu kita tidak adil, sehingga dzolim. Sehingga seorang guru boleh memformulasi sebuah rumus penilaian, asalkan dia faham konsepnya. Kalau merubah nilai itu pasti malpraktik". Tutur Yasri
"Dampak jika terjadi miskonsemsi atau malpraktik itu yang dirugikan adalah siswanya. Jika siswa tidak bisa maka bisa jadi siswa dinilai sudah bisa, dan akan berdampak ke jenjang selanjutnya. Contoh pada mata Pelajaran matematika, siswa belum bisa penjumlahan dan pengurangan, tetapi ketika ulangan nilainya, kemudian naik ke jenjang selanjutnya. Lalu dijenjang selanjutnya diajari perkalian, pasi siswa akan pusing.". Ujar Waryadi
"Dampak yang kedua adalah dampak pada tataran kebijakan. Guru yang siswanya belum bisa lalu dinilai bisa lalu guru tidak akan melakukan sesuatu lagi pada siswa ini. Artinya guru tidak akan melakukan perbaikan pembelajaran. Padahal salah satu tujuan evaluasi adalah bagaimana melihat suatu proses itu sudah berlangsung dengan baik atau tidak, kemudian bagaimana nanti memperbaiki hal-hal yang kurang sempurna. Kemudian dampak yang lebih luas adalah kebijakan pemerintah, contoh secara logika ketika suatu sekolah ternyata hasil UN nya diatas 90, padahal nilai itu adalah nilai palsu, ketika ada suatu proses yang keliru, ada pengukuran malpraktik. Tetapi karena itu berlaku secara nasional, maka pemerintah akan melihat sekolah tersebut sebagai panutan. Kemudian yang terakhir adalah Melahirkan generasi-generasi palsu". Tutur Waryadi
"Penilaian di rpp itu banyak miskonsepsi, fungsi penilaian di RPP itu hanya untuk kepentingan guru, tetapi objeknya adalah siswa". Tutur Yasri.