Lihat ke Halaman Asli

Aidhil Pratama

TERVERIFIKASI

ASN | Narablog

Ketika Algoritma dan Budaya Politik Menyuburkan Buzzer

Diperbarui: 20 September 2025   17:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi media sosial. (Freepik via Kompas.com)

Fenomena buzzer politik sering dibaca dari satu sisi saja. Seolah semua orang di baliknya mengejar keuntungan finansial belaka. Orang menyebutnya cuan. Banyak yang yakin motif utama mereka cuma uang.

Nyatanya, ceritanya sering lebih ruwet dari itu. Agensi dan koordinator memang memburu laba besar dari kontrak politik.

Tapi pemain di lapis bawah kerap punya alasan lain. Ada yang bergerak karena keyakinan ideologi yang tulus.

Melihatnya sebagai bentuk baru partisipasi politik di ranah digital. Mereka merasa terpanggil membela pandangannya (Jurnal PolGov UGM, 2022).

Gaya mereka bisa sangat agresif. Tetapi bukan karena bayaran. Sebagian lagi hanya ikut arus.

Tekanan sosial dari lingkungan mendorong mereka, lalu tercipta efek bola salju yang membesar dan sulit dihentikan.

Publik pun kerap diposisikan sebagai korban pasif. Seolah tidak punya pilihan dan menelan mentah semua informasi dari buzzer.

Pandangan ini layak dipertanyakan. Mengapa pesan buzzer bisa gampang viral?

Sederhana saja. Isinya cocok dengan keyakinan yang sudah hidup di banyak orang.

Isu yang diangkat menyentuh sentimen lama. Menggaruk rasa takut. Sekaligus harapan yang sudah ada sebelumnya.

Dalam situasi seperti ini, buzzer bukan pencipta konflik dari nol. Mereka lebih berperan sebagai penguat. Memperdalam polarisasi yang memang sudah terbentuk (The Conversation, 2023). Mereka seperti menuang bensin pada api yang sudah menyala.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline