Bayangkan dua orang duduk di kafe yang sama. Keduanya memesan kopi. Satu memilih kopi tubruk seharga Rp15 ribu, sementara yang lain mengeluarkan Rp65 ribu untuk segelas latte di Starbucks. Rasionalnya, keduanya sama-sama kopi. Tapi keputusan finansial mereka sangat berbeda.
Fenomena ini dikenal sebagai Money Dial. Sebuah konsep yang menjelaskan bahwa setiap orang memiliki "tombol" unik dalam hidupnya aspek yang dianggap paling berharga, sehingga mereka rela mengalokasikan uang lebih banyak ke sana. Bagi sebagian orang, dial-nya adalah kenyamanan. Bagi yang lain, status sosial, kesehatan, pengalaman, atau bahkan keamanan finansial.
Psikologi di Balik Money Dial
Dari sisi psikologi, Money Dial terkait erat dengan teori motivasi manusia. Abraham Maslow menempatkan kebutuhan dasar (makan, tempat tinggal, keamanan) sebagai fondasi piramida, lalu naik ke kebutuhan sosial, penghargaan, hingga aktualisasi diri. Setiap Money Dial konsumen mencerminkan level kebutuhan yang paling dominan baginya.
Behavioral economics menambahkan perspektif menarik: konsumen sering kali tidak rasional dalam mengatur uang. Teori loss aversion Kahneman & Tversky menunjukkan bahwa orang lebih takut kehilangan sesuatu yang penting bagi mereka daripada mengejar keuntungan baru. Jadi, ketika suatu produk menyentuh Money Dial seseorang, mereka lebih rela "kehilangan uang" daripada kehilangan rasa aman, status, atau pengalaman yang penting bagi dirinya.
Itulah sebabnya ada orang yang menekan pengeluaran sehari-hari tapi berani mengeluarkan jutaan Rupiahuntuk konser Coldplay. Atau ada yang rela cicil iPhone terbaru padahal laptop kerjanya masih jadul. Logikanya tidak selalu nyambung, tapi secara emosional sepenuhnya masuk akal.
Sudut Pandang Keuangan: Prioritas vs. Perilaku
Menariknya, Money Dial ini bisa terlihat jelas dalam pola pengeluaran. Data BPS Indonesia (2023) menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga urban kelas menengah tidak lagi didominasi oleh kebutuhan pokok. Justru alokasi untuk lifestyle, experience, dan teknologi meningkat signifikan dalam 5 tahun terakhir.
Dari sisi global, laporan McKinsey (2023) mencatat bahwa 60% Gen Z dan milenial memilih spending untuk experience dibandingkan barang fisik. Ini menjelaskan kenapa sektor travel, F&B, dan entertainment melonjak pasca pandemi, meskipun inflasi tinggi.
Secara finansial, hal ini memberi insight penting: konsumen modern tidak lagi mengelola uang hanya berdasarkan budgeting function, tapi berdasarkan psychological value. Mereka rela memangkas hal yang tidak mereka anggap penting demi memperbesar alokasi ke Money Dial mereka.