Di banyak negara, badan usaha milik negara (BUMN) bukan sekadar entitas bisnis, melainkan instrumen strategis untuk menopang keuangan negara dan menjaga kedaulatan ekonomi. Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan Indonesia memiliki model pengelolaan yang berbeda, tetapi perbandingan kinerjanya memberi gambaran jelas bagaimana BUMN berperan dalam perekonomian global maupun domestik.
Amerika Serikat dikenal sebagai negara dengan perekonomian kapitalis, tetapi bukan berarti tanpa kehadiran entitas negara. Ada beberapa badan usaha yang dimiliki pemerintah, misalnya Tennessee Valley Authority (TVA) yang didirikan pada 1933 untuk menyediakan listrik murah di kawasan pedesaan, serta Amtrak, perusahaan kereta api nasional. Menurut data Congressional Research Service (CRS, 2020), kontribusi langsung perusahaan-perusahaan ini ke APBN relatif kecil, tetapi perannya lebih pada pelayanan publik. Dalam konteks energi, pemerintah AS lebih banyak bergantung pada regulasi dan pajak perusahaan swasta ketimbang dividen BUMN.
Berbeda dengan Amerika, Cina justru mengandalkan BUMN sebagai tulang punggung ekonomi. Data dari State-owned Assets Supervision and Administration Commission (SASAC, 2022) menunjukkan bahwa lebih dari 96 BUMN besar Cina menguasai sektor strategis seperti energi, telekomunikasi, keuangan, dan transportasi. Pada 2021, pendapatan BUMN Cina tercatat lebih dari USD 4 triliun, dengan kontribusi langsung ke kas negara mencapai 30% dari penerimaan fiskal (World Bank, 2022). Raksasa seperti Sinopec, State Grid, dan ICBC bukan hanya menopang APBN, melainkan juga menjadi alat diplomasi ekonomi Cina di luar negeri.
Sementara itu, Rusia mengandalkan BUMN energi sebagai motor ekonomi. Gazprom dan Rosneft adalah contoh paling menonjol. Menurut laporan CRS tahun 2023, lebih dari 35% pendapatan federal Rusia pada 2021--2022 berasal dari perusahaan energi milik negara ini. Gazprom sendiri pada 2021 mencatat keuntungan bersih USD 29 miliar, dengan dividen yang menjadi salah satu sumber utama APBN Rusia (Financial Times, 2022). Sumbangsih BUMN di Rusia jelas sangat signifikan, meskipun sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak dan gas serta sanksi internasional.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Secara jumlah, Indonesia memiliki lebih dari 100 BUMN yang bergerak di berbagai sektor, mulai dari energi, perbankan, telekomunikasi, hingga transportasi. Namun, kontribusi dividen BUMN terhadap APBN ternyata masih relatif kecil. Data Kementerian Keuangan mencatat pada 2023 total dividen BUMN hanya sekitar Rp81 triliun, jauh di bawah harapan publik mengingat skala besar perusahaan tersebut. Bandingkan dengan cukai rokok, yang pada tahun yang sama mencapai Rp218 triliun, hampir tiga kali lipat lebih besar daripada dividen BUMN (APBN 2023).
Jika dibandingkan dengan sektor sumber daya alam (SDA), gap ini semakin terlihat jelas. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA pada 2023 tercatat mencapai Rp163,9 triliun dari minyak dan gas, Rp183,6 triliun dari mineral dan batubara, serta Rp34 triliun dari dana perkebunan sawit melalui BPDPKS. Artinya, hanya dari SDA saja negara menerima lebih dari Rp400 triliun, lima kali lipat lebih besar dibanding dividen BUMN. Bahkan, jika dihitung lebih rinci, cukai rokok yang notabene sering dipandang sebagai beban sosial justru memberi kontribusi yang lebih stabil daripada dividen perusahaan milik negara.
Perbedaan ini kontras dengan negara seperti Norwegia dan Arab Saudi. Norwegia mengelola hasil minyak melalui Government Pension Fund Global yang kini bernilai lebih dari USD 1,4 triliun (IMF, 2023), menjadikannya salah satu sovereign wealth fund terbesar di dunia. Arab Saudi melalui Aramco menyumbang lebih dari 60% pendapatan negara pada 2022 (Saudi Budget, 2022). Kedua negara itu berhasil menjadikan kekayaan alam sebagai mesin fiskal jangka panjang. Indonesia, sebaliknya, masih menghadapi dilema: BUMN diarahkan untuk ekspansi dan pembangunan infrastruktur jangka panjang, sehingga dividen yang masuk ke APBN relatif rendah.
Situasi ini melahirkan ironi. Di satu sisi, SDA Indonesia sangat melimpah dan BUMN menguasai sektor strategis, tetapi kontribusinya ke kas negara masih kalah dengan pungutan dari industri rokok. Pemerintah beralasan bahwa BUMN saat ini tengah melakukan ekspansi dan investasi jangka panjang yang hasilnya baru akan terlihat dalam beberapa tahun mendatang. Namun dari perspektif publik, sulit diabaikan fakta bahwa cukai rokok, meskipun sering dikritik karena dampak kesehatan, ternyata menjadi salah satu penopang paling stabil APBN Indonesia.
Dengan demikian, perbandingan antara Amerika, Cina, Rusia, dan Indonesia memperlihatkan wajah berbeda peran BUMN. Amerika menggunakan BUMN sebagai penyedia layanan publik, Cina dan Rusia menjadikannya pilar fiskal dan geopolitik, sementara Indonesia masih berada di persimpangan: kaya SDA dan punya banyak BUMN, tetapi kontribusi dividen mereka belum sebanding dengan potensi yang ada. Ironinya, stabilitas penerimaan justru lebih banyak disumbangkan oleh cukai rokok ketimbang oleh perusahaan negara yang seharusnya menjadi lokomotif kedaulatan ekonomi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI