Langkah kakek selalu punya irama yang khas pelan, berat, tapi penuh ketenangan. Setiap pijakannya di lantai kayu tua di rumah belakang, menghasilkan bunyi berderit yang tak asing di telinga. Bagi kami, suara itu bukan sekadar bunyi lantai yang rapuh dimakan usia, tapi tanda bahwa kakek sedang ada di rumah, sedang berjalan menuju ruang tengah, mungkin hendak menyeduh kopi hitam kesukaannya.
Ada rasa yang tak bisa dijelaskan ketika suara itu terdengar. Seolah lantai kayu itu ikut berbicara, ikut memahami rindu yang jarang bisa terucap. Kakek bukanlah sosok yang banyak bicara. Ia lebih sering duduk diam, mendengarkan, atau sekadar mengangguk pelan saat kami bercerita. Tapi justru dalam diamnya, ada kasih yang tak pernah pudar.
Rumah dengan lantai kayu itu menjadi saksi begitu banyak cerita. Dari masa kecil ayah dan paman yang berlari-larian di atasnya, hingga masa kini, saat cucu-cucunya---termasuk aku---lebih sering merantau dan jarang pulang. Setiap kali aku kembali, suara langkah kakek di atas lantai kayu selalu membuatku merasa ... pulang. Bukan hanya pulang ke rumah, tapi pulang ke versi diriku yang dulu.
Seiring bertambahnya usia, langkah kakek semakin pelan. Lantai kayu tetap mengeluarkan bunyi yang sama, tapi kini terasa berbeda seolah mengingatkan kami bahwa waktu berjalan, dan tak ada yang abadi. Ada rasa takut sekaligus rindu yang semakin dalam setiap kali mendengar derit itu, karena aku tahu suatu saat nanti, rumah ini akan kehilangan salah satu sumber suaranya yang paling berarti.
Kakek selalu mengatakan, "Rumah ini sederhana, tapi punya hati." Aku mulai mengerti maksudnya. Lantai kayu yang berderit itu bukan sekadar bagian dari bangunan tua. Ia menyimpan jejak, ingatan, bahkan cinta yang tak bisa diukur. Di setiap pijakan, ada potongan hidup yang akan terus kami kenang bahkan setelah kakek tak lagi bisa melangkah di atasnya.
Kini, setiap kali aku jauh, suara lantai kayu itu sering datang di kepalaku bersama aroma kopi hitam dan senyum tipis kakek. Rindu punya cara yang aneh untuk bertahan, bahkan dari hal-hal sekecil bunyi kayu yang mengeluh di bawah langkah kaki.
Dan mungkin, suatu hari nanti, ketika lantai itu akhirnya diganti, suaranya tak akan pernah sama lagi. Tapi kenangan tentang langkah kakek ... akan tetap ada. Mengendap di hati, seperti derit kayu yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah pulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI