Sumber: Dokumen Meri Pertama Kuliah Perdana (3/9/2025) dari Materi Ajar ke Catatan Kuliah-Ke Porter/dipresantasikan- Dituli jadi Esai Argumentatif dipublis di Media Online (Gambar dimodifikasi)
Berpikir Kritis vs Branding Akademik: Membangun atau Sekadar Formalitas?
Oleh: A. Rusdiana
Tanggal 3 September 2025 menjadi hari perdana saya mengajar semester ganjil tahun akademik 2025/2026. Jadwal padat: empat kelas S1 (12 SKS) sejak pukul 06.50 pagi, ditutup kelas S2 (3 SKS) hingga menjelang magrib. Total 15 SKS dalam sehari. Menariknya, saya tidak sendiri. Empat tutor alumni S2 ikut mendampingi: dua sudah terbiasa sejak tahun lalu, satu baru lulus 23 Juli 2025, dan satu lagi kini berstatus mahasiswa S3. Fenomena ini menegaskan pentingnya kolaborasi lintas jenjang. Namun, muncul pertanyaan: di tengah beban akademik yang tinggi, mana yang lebih krusial? Apakah mahasiswa harus lebih fokus mengasah soft skills berpikir kritis atau membangun branding akademik lewat publikasi digital? Secara teoretis, Job Demand--Resources Theory menunjukkan bahwa beban akademik tinggi (demand) harus diimbangi dengan sumber daya yang memadai, misalnya keterampilan berpikir kritis dan peluang branding digital. Wenger dengan community of practice menegaskan pentingnya belajar dalam komunitas, sedangkan Vygotsky dengan social learning menekankan peran interaksi sosial. Keduanya relevan dalam konteks publikasi digital sebagai arena uji publik: mahasiswa tidak cukup hanya berpikir kritis, tetapi perlu mengomunikasikan pikirannya secara konsisten.
Masalahnya, sering ada mind match gap: antara kualifikasi akademik mahasiswa dengan tuntutan branding global. Di sinilah tulisan ini hadir, menimbang: berpikir kritis dan branding akademik, apakah benar membangun ekosistem ilmiah, atau hanya formalitas baru? Berikut lima Pilar Membangun Berpikir Kritis vs Branding Akademik:
Pertama: Pentingnya Membedakan Opini dan Argumen Ilmiah; Bagi mahasiswa, kemampuan berpikir kritis diuji ketika mereka harus memilah opini dari argumen ilmiah. Opini adalah subjektif, argumen ilmiah menuntut data, teori, dan metode. Inilah latihan logika yang tidak bisa ditawar. Namun, di era digital, sekadar memiliki argumen tidak cukup. Branding akademik muncul ketika mahasiswa menulis dan memublikasikan gagasan secara konsisten, misalnya melalui Kompasiana atau jurnal terbuka. Bedanya jelas: berpikir kritis memberi kedalaman, branding akademik memberi jangkauan.
Sumber: Dokumen Meri Pertama Kuliah Perdana (3/9/2025) dari Materi Ajar ke Catatan Kuliah-Ke Porter/dipresantasikan- Dituli jadi Esai Argumentatif dipublis di Media Online (Gambar dimodifikasi)
Kedua: Metode Penelitian sebagai Fondasi Logika Akademik; Metode penelitian bukan sekadar mata kuliah wajib, tetapi fondasi berpikir akademik. Rumusan masalah, metodologi, hingga analisis data melatih mahasiswa berpikir runtut. Tanpa itu, tulisan hanya jadi opini bebas. Namun, hasil penelitian tidak boleh berhenti di meja dosen. Publikasi digital menjadi laboratorium akademik baru, tempat logika diuji oleh publik yang lebih luas. Dengan begitu, branding akademik tidak sekadar "gaya", tetapi menjadi pengakuan atas ketekunan berpikir kritis.
Sumber: Dokumen Meri Pertama Kuliah Perdana (3/9/2025) dari Materi Ajar ke Catatan Kuliah-Ke Porter/dipresantasikan- Dituli jadi Esai Argumentatif dipublis di Media Online (Gambar dimodifikasi)
Ketiga: Konsistensi Menulis sebagai Branding Akademik; Kualitas branding akademik tidak lahir dari sekali-dua kali publikasi, melainkan dari konsistensi menulis. Mahasiswa yang rutin menulis, meskipun pendek, sedang membangun rekam jejak intelektual. Di sinilah berpikir kritis dan branding akademik bersinergi. Tulisan yang dangkal tidak akan bertahan di ruang publik. Sebaliknya, tulisan kritis yang konsisten akan memperkuat reputasi akademik.