Dari Buku, Untuk Buku: Kisah Menjaga Peradaban
Setiap tanggal 23 April, masyarakat global merayakan Hari Buku Dunia sebagai bentuk apresiasi terhadap buku dan kontribusinya dalam membentuk peradaban manusia. Perayaan ini mengingatkan kita pada peran penting buku dalam proses pembelajaran, pertukaran gagasan, dan penciptaan masa depan yang berbasis ilmu. Dalam konteks ini, diskusi mengenai buku tidak hanya relevan secara historis dan budaya, tetapi juga memiliki dimensi spiritual, terutama dalam tradisi Islam yang sejak awal menempatkan membaca dan menulis sebagai fondasi peradaban.
Buku dan Peradaban: Sebuah Refleksi Historis
Sejarah mencatat bahwa kemajuan suatu bangsa sering kali berjalan seiring dengan tumbuhnya tradisi literasi. Buku---baik dalam bentuk manuskrip, cetak, maupun digital---telah menjadi instrumen penting dalam pewarisan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan. Peradaban Islam klasik, misalnya, menunjukkan bagaimana pengelolaan ilmu melalui penulisan dan pelestarian karya-karya ilmiah mampu membangun pusat-pusat keilmuan yang berpengaruh hingga kini.
Namun, perkembangan teknologi digital saat ini membawa tantangan baru. Informasi memang menjadi lebih mudah diakses, tetapi kedalaman pemahaman sering kali tergerus oleh gaya konsumsi informasi yang cepat dan serba instan. Dalam konteks ini, buku tetap menawarkan keunggulan: ia mengajak pembaca untuk berhenti sejenak, merenung, dan membangun koneksi makna dalam jangka panjang.
Iqra dan al-Qalam sebagai Dasar Budaya Ilmu
Akar tradisi literasi dalam Islam dapat ditelusuri melalui wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW:
"Iqra' bismi rabbika alladzi khalaq"
(Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan) (QS. Al-'Alaq: 1)
Ayat ini menempatkan aktivitas membaca bukan sekadar sebagai proses kognitif, tetapi juga sebagai bagian dari perjalanan spiritual. Perintah Iqra mengandung pesan mendalam bahwa pencarian ilmu harus selalu dikaitkan dengan kesadaran akan Tuhan, dan dengan demikian, ilmu menjadi sarana pembentukan etika dan tanggung jawab sosial.
Tak lama setelah itu, dalam Surah Al-Qalam, Alquran menegaskan kembali posisi penting aktivitas menulis:
"Nuun. Wal-qalami wa maa yasthuruun"
(Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis) (QS. Al-Qalam: 1)