Pendahuluan
Ibu adalah satu-satunya alasan saya untuk selalu pulang.
Meski jarak Bekasi ke Cisalak, Subang, bisa memakan waktu dua hingga empat jam perjalanan, saya tak pernah merasa keberatan. Pulang untuk melepas rindu, dan memastikan Ibu baik-baik saja.
Di usia 70-an, Ibu mulai sering mengeluh, "Banyak lupa, Nak." Awalnya saya hanya menganggap itu bagian wajar dari proses menua. Setiap kali saya pulang, Ibu akan duduk di kursi dekat sofa tempat saya biasa tiduran sambil melepas lelah, lalu Ibu bercerita panjang lebar.
Ia bercerita tentang Ayah yang telah lebih dulu berpulang beberapa tahun lalu, tentang teman-temannya yang satu per satu meninggalkan dunia ini, hingga kisah masa lalunya yang penuh warna.
Saat mengingat Ayah, sering kali matanya berkaca-kaca, air mata menetes tanpa bisa ditahan. Momen-momen itu menjadi pengikat batin kami. Saya merasa, selama Ibu masih bercerita, saya masih mengenalnya sebagai Ibu yang hangat, penuh kasih sayang, dan kaya akan kisah hidup.
Awal Gejala yang Semakin Jelas
Seiring berjalannya waktu, cerita-cerita Ibu mulai terdengar berbeda. Ada kalanya beliau masih mengenali saya sepenuhnya, memanggil nama saya dengan penuh kasih seperti dulu. Namun di lain kesempatan, beliau tampak bingung. Ibu lupa saya bekerja di mana, lupa urusan yang sedang saya jalani, bahkan terkadang lupa bahwa saya baru saja datang beberapa jam yang lalu.
Saya menganggap ini sekadar pikun biasa. Tapi ketika hal itu semakin sering terjadi, saya melihat sosok Ibu yang saya kenal perlahan menjauh, seperti ditarik ke dunia yang tak bisa saya masuki.
Kadang beliau bersikap kekanak-kanakan, kadang menjelma seperti sosok ibu dahulu saat saya masih kanak-kanak. Ibu berbicara dan bergerak dengan semangat, seolah tubuhnya kembali ke masa mudanya yang dulu enerjik. Namun ada pula hari-hari ketika beliau tampak normal, berbicara tenang dan jelas, seperti tak ada yang berubah.
Perubahan ini membuat saya sering kelelahan secara emosional. Demensia mulai merenggut ingatan Ibu, menguji kesabaran dan kasih sayang kami. Rasanya seperti sedang menyaksikan jiwa Ibu meredup, sedikit demi sedikit, meski napasnya masih dikandung badan.